03 November 2006

Menjual Potensi SDA Daerah

Bertempat di tempat yang nyaman para calon investor yang diharapkan dari luar negeri, dapat beraudensi dengan pemerintah daerah. Otonomi yang digembar-gemborkan saat masa reformasi sedang hangat-hangatnya untuk melawan sentralisasi yang diterapkan rejim Soeharto, saat ini mulai dijual. Maka daerah-daerah pun dengan bebas dapat mempromosikan potensi Sumber Daya Alam yang ada didaerahnya untuk dieksplorasi para pemodal asing. Awal promosi ini telah dibuka oleh Susilo Bambang Yudhoyono, selaku Presiden Republik Indonesia, di hotel Sangrila.

Potensi Sumber Daya Alam memang sungguh luar biasa, apapun yang dibutuhkan untuk hidup dan kehidupan ini amat banyak tersedia, dari bahan tambang, lahan perkebunan, pertanian, pariwisata, perikanan, lautan/ pantai, begitupun dari sumber daya manusia juga tak sedikit tersedia. Amat dan amat banyak tersedia.

Memang yang kurang dari negara ini adalah kurangnya dana cash. Dana cash dimiliki oleh orang per orang, bukan oleh negara. Negara masih merasa kekurangan keberanian untuk menanamkan modalnya (dana cash yang tersedia), karena untuk menjalankan negara ini sudah amat banyak membutuhkan dana cash.

Memang ada pertanyaan yang menggelayut dalam diriku, mengapa pihak swasta mampu? Padahal yang disebut pihak swasta tersebut bukan menggunakan uang pribadinya, tetap saja mereka menggunakan uang yang berasal dari pinjaman, baik bank dalam negeri maupun bank luar negeri.

Kalau demikian, mengapa bukan pemerintah saja yang melakukan upaya peminjaman? Toh, akhirnya sama saja. Karena ketika ada masalah dengan hutang-hutang swasta akhirnya pemerintah pula yang menanggungnya, kita bisa melihat kasus BLBI, bukankah pemerintah yang akhirnya menalangi hutang-hutang swasta?

Disinilah, ketakutan hal-hal yang demikian ini akan terjadi ketika potensi daerah dijual ke asing. Permasalahan yang muncul pada kasus Freeport yang tak mampu diambil dengan lebih baik untuk kebaikan negara, akan menjalar pula ke daerah-daerah, apa sih kekuatan daerah jika kasus permasalahan ketidakseimbangan pendapatan antara 'pemilik modal' dengan pemilik potensi terjadi? Jangankan daerah, lha negara saja tak mampu berbuat apa-apa terhadap Freeport (90:5:5=pemilik modal asing:pemilik modal dalam negeri:pemerintah, sangat njomplang kan?)?

Melihat begitu amat sedikitnya tenaga ahli yang berada di daerah, ketakutan tersebut adalah sangat beralasan. Kecenderungan pengumpulan dana di kota-kota besar menyebabkan para tenaga ahli, lebih memilih berkiprah di kota-kota dibanding di desa-desa, selain itu ilmu tenaga ahli tersebut juga dicipta untuk mendukung kehidupan di kota, bukan di pedesaan. Inilah penjelasan lebih realitis mengapa tenaga ahli di daerah-daerah amat sedikit.

Dengan kondisi yang demikian ini, adalah amat besar kemungkinan potensi daerah akan diboyong, baik sumber dayanya maupun sumber dananya ke pihak asing.

Sebaiknya pemerintah mampu mendorong pemerataan dan penyebaran tenaga ahli yang sesuai dengan kompetensi dan lapangan kerja yang memang dipelajarinya.

Uang tunai yang saat ini 80% hanya beredar di Jakarta, harus dapat dipecah dan dibagi ke daerah-daerah.

Begitupun sarana dan prasarana yang saat ini amat banyak ada di Jakarta harus bisa dibawa ke daerah. Anda dapat membayangkan betapa murahnya biaya komunikasi di Jabodetabek, sebuah luasan yang jauh amat luas dibanding dengan Kota Bandung, biaya komunikasi di sana dihitung lokal.

Hal ini pula yang cenderung para ahli hanya berkumpul di kota-kota besar saja. Dan promosi penjualan potensi daerah, amat memungkinkan membuat blunder, pengerukan segala sumber daya daerah dibawa ke negara lain.

No comments:

Post a Comment