16 October 2006

Tulisan TW tentang Pendidikan

From: tw yunianto
Date: 14/10/2006 21:25:08
To: bem 03-04; bem 05-06; bem 05-06; kharisma; SMU Kartasura; dosen; karyawan; Mahmud; budi pras; pak hery; pak gharis; tegangan_tinggi@yahoogroups.com
Subject: Kebingungan Seorang Mahasiswa

Kebingungan Seorang Mahasiswa
TW Yunianto**

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah tulisan karya Pak Budi Rahardjo (dosen ITB). Isinya sangat menarik, yaitu tentang kegundahan beliau sebagai seorang dosen. Judulnya pun bagi saya sangat provokatif, sehingga saya terinspirasi untuk membuat judul yang hampir mirip dengan judul yang beliau buat.

Dalam tulisan itu, Pak Budi menyatakan kebingungannya sebagai seorang dosen. Ya.. kebingungan beliau akan apa yang harus diberikannya kepada mahasiswa. llmu apa yang harus diberikan kepada mahasiswanya sehingga para mahasiswanya memang layak disebut sebagai seorang 'mahasiswa'.

Menjadi pertanyaan besar yang ada di benak saya, sebenarnya apa sih mahasiswa, siapa mahasiswa, dan kenapa mau jadi mahasiswa ? Terus terang, saya termasuk orang yang bingung terkait dengan pertanyaan retorik tersebut. Saya bingung terhadap keterkaitan antara orientasi pendidikan dengan eksistensi mahasiswa. Apa yang sebenarnya diinginkan dari dunia pendidikan, dan apa yang sebenarnya diinginkan oleh para pengelola pendidikan di negeri ini sehingga kita (mahasiswa) harus ada ?

Dalam diskusi ringan dengan beberapa rekan, saya mencoba mengorek orientasi-orientasi mereka terkait dengan keinginan mereka menjadi mahasiswa. Ada yang mengatakan untuk mencari kerja (bahkan lebih ekstrim lagi mencari uang dan kedudukan), ada yang mengatakan karena dipaksa oleh orang tua, ada yang mengatakan pingin mencari ilmu (ilmu yang bagaimana maksudnya?), dan ada pula yang sekedar mengikuti formalitas alur ‘kehidupan belajar’ (TK, SD, SMP, SMA, kuliah). Beragam pendapat yang saya dapatkan ternyata membawa saya kepada satu kesimpulan, yaitu tidak adanya orientasi yang tegas terhadap dunia pendidikan, khususnya di negeri kita. Kenapa hal ini bisa terjadi demikian? Ada satu tesis yang menarik yang saya tangkap dari pemikiran Pak Budi, polarisasi orientasi pendidikan di Indonesia lebih disebabkan karena adanya kesemrawutan pola pikir dan orientasi pendidik.
Ketika hal itu saya rasakan, ternyata cukup realistis juga apa yang beliau sampaikan, bahwa pelaku pendidikan di negeri ini, khususnya setelah momentum kemerdekaan, terjadi sebuah tragedi yang dinamakan (menurut saya) instanisasi paradigma pendidikan. Kenapa hal ini terjadi ? Saya merasakan setelah masa kemerdekaan, sepertinya tidak ada lagi sesuatu yang strategis sebagai common vision yang mampu menggerakkan seluruh komponen pendidikan ke arah yang sama. Masing-masing merasa diberikan kebebasan untuk menerjemahkan visi-visinya, sehingga antara visi satu dengan visi yang lain belum tentu searus-sejalan.

Saya masih ingat ketika orde Baru meneguhkan orientasi pendidikan melalui pembangunan sektor teknologi dan industri. Analisa saya, dari adanya sentralisasi isu tersebut, maka paling tidak timbul sebuah pemahaman akan pembangunan dunia pendidikan beserta manusia didiknya untuk mengabdi kepada industrialisasi dan teknologisasi, sehingga ketika orang-orang pendidikan 'pembangkang' (baca: orang yang tidak menganut madzhab industri dan teknologi) dianggap sebagai orang-orang kolot dan ketinggalan zaman. Hasilnya adalah, insinyur menjadi impian setiap orang, bekerja di perusahaan bonafit papan atas menjadi impian setiap orang, posisi direktur menjadi impian setiap orang. Dunia pendidikan seolah hanya ditujukan untuk mencetak ’buruh-buruh teknokrat’. Bahkan yang terjadi juga, menurut saya ini adalah hal yang sangat lucu, ketika tidak menjadi bagian dari masyarakat industri dianggap sebagai masyarakat yang tidak sukses. Ekses yang lain juga terjadi dalam dunia pendidikan itu sendiri, yaitu kecenderungan peserta didik untuk menjadi karyawan perusahaan dari pada menjadi guru/dosen/pengajar. Sepertinya ironis juga dunia pendidikan kita yang mulai sepi peminat.

Kebingungan seorang mahasiswa, dimana letaknya ?
Sampai saat ini, saya masih suka bertanya kepada diri saya, sebenarnya orientasi dari perguruan tinggi itu apa? Apakah mencetak para buruh intelektual (karyawan industri) seperti di atas? Mencetak para pemimpin bangsa yang sekarang sedang mabuk kepayang dengan korupsi? Mencetak para budayawan yang sekarang ini semakin aneh dengan pemikiran-pemikirannya tentang nilai dan norma? Mencetak para ustadz dan kiai yang sekarang kadang membuat bingung jama'ah dengan ideologi-idoelogi liberal mereka? Atau mencetak para tentara yang dari dulu sampai sekarang terkesan angker dan memposisikan dirinya sebagai body guard penguasa?

Mahasiswa, saya kira ada satu hal yang harus menjadi bahan pemikiran bersama. Adakah value added seorang mahasiswa ketika dibanding dengan masyarakat lainnya? Katakanlah para politikus, pedagang, petani, buruh, dan sebagainya. Saya mendapatkan sebuah kosakata yang terkait dengan mahasiswa. Dunia mahasiswa seharusnya identik dengan intellectual power. Ketika militer identik dengan battle power, atau politikus identik dengan political power, maka disinilah kita juga mendapatkan peran yang sepadan dalam diri mahasiswa dengan dunia yang lain. Mahasiswa adalah kekuatan intelektual. Kampus adalah rumah intelektual, atau boleh juga kalau kita mengatakan istana intelektual.

Ketika kita menyadari bahwa mahasiswa memiliki sebuah nilai kekuatan intelektual, maka setidaknya ada sebuah kaidah yang mampu memupuk kekuatan tadi menjadi kekuatan yang sempurna-paripurna. Ilmu yang benar, kalau diaplikasikan secara salah malah dapat lebih berbahaya. Bagaimana kekuatan intelektual tadi mampu menjadi lentera yang mampu menyinari kegelapan malam. Saya mencoba memberikan sebuah gambaran, ketika mahasiswa identik dengan dunia anti-kemapanan, maka sebenarnya disana terdapat banyak sekali dinamisasi atau bahkan tribulasi yang berusaha untuk mematikan lentera itu. Dalam dunia nyata, bolehlah kita mengibaratkan lentera itu sebuah lilin yang disekitarnya banyak hembusan angin yang mampu mematikan nyala apinya. Secara logika, untuk mempertahankan nyala lentera (lilin) itu dari gangguan (angin) tadi adalah dengan memberinya sebuah perisai (shield) transparan yang mampu menghalangi kencangnya tiupan angin namun juga tidak menghalangi cahaya api lilin untuk tetap menerangi sekitar. Untuk itulah (dalam bahasa Jawa) teplok lebih terjamin nyala apinya dari pada lilin, karena teplok memiliki shield dari kaca transparan yang tipis yang mampu menahan gangguan angin terhadap nyala api.

Silogisme shield kaca kalau dalam dunia pendidikan, menurut saya adalah kekuatan moral. Kalau ingin kekuatan intelektual tadi ingin tetap menyala dan mampu menerangi kehidupan kita dan bangsa kita ke depan, maka menurut saya ada satu kekuatan lagi yang kita perlukan, yakni kekuatan moral.
Namun sebelumnya harus dipahami bahwa kekuatan intelektual adalah sesuatu yang bernilai kausalitas, artinya sesuatu yang terjadi karena sebab akibat, yakni adanya sang Pencipta, Allah Rabbul 'Alamin, sehingga mau tidak mau kekuatan 'api' intelektual tadi harus berbahan bakar dari kekuatan spiritual yang identik dengan keimanan.

Sekarang kita memahami ada tiga kekuatan yang seharusnya ada dalam dunia pendidikan, termasuk dunia mahasiswa, yakni kekuatan spiritual, kekuatan intelektual, dan kekuatan moral. Sepertinya inilah yang menurut saya menjadi sebuah komponen penyusuun yang ideal dalam dunia pendidikan. Kekuatan spiritual lebih difokuskan pada pemahaman akan eksistensi manusia terkait dengan tugas dan fungsinya (hakikat penciptaan), dalam hal ini kalau dalam dunia pendidikan maka eksistensi pelaku pendidikan (guru dan peserta didik). Saya kira akan menjadi sesuatu yang harmonis apabila setiap pelaku pendidikan 'menyadari' akan peran dan fungsi mereka. Realita sekarang, memang banyak pelaku pendidikan yang pintar (di Indonesia sudah banyak profesor, doktor), namun masih sedikit dari orang-orang pintar itu 'mengerti'. Mereka sepertinya (maaf) meng-aristokrat-kan diri mereka untuk interest-interest mereka masing-masing. Mereka terlalu asyik dengan teori, sehingga saya khawatir kalau nanti yang terjadi adalah kemunculan para mahasiswa (calon pemimpin bangsa) yang teoretik. Hasilnya adalah orang-orang yang gagap dalam paradigma. Saya kira saya mengambil sampel dalam dunia sosial bahwa satu ditambah satu tidak selalu dua. Dan satu hal lagi terkait dengan masalah teori ilmu dan kekuatan spiritual, bahwa beberapa dari teori ilmu yang dibuat manusia seringkali membuat kondisi chaos (bingung), hal ini dapat kita lihat dari adanya ilmu-ilmu yang malah membuat manusia merasa semakin merasa digdaya sehingga melupakan nilai-nilai Illahiyyah, Godless Paradigm.

Kekuatan intelektual adalah sesuatu yang amat potensial. Dari dunia pendidikan (kampus), akan muncul para pemimpin-pemimpin generasi. Praktisnya, kita dapat mengatakan para presiden, menteri, gubernur, bupati, bahkan camat dan carik (sekretaris desa) adalah orang-orang lulusan dari candradimuka pendidikan (khususnya perguruan tinggi). Berangkat dari statement tersebut, paling tidak kita meyakini bahwa nantinya kekuatan yang akan berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan membangun peradaban nantinya adalah kekuatan intelektual. Lantas bagaimana memanifestasikan kekuatan intelektual tersebut menjadi sesuatu yang berdaya guna? Saya kira, tidak ada gunanya kalau kekuatan intelektual digunakan sebagai senjata pemusnah peradaban, atau state realistisnya adalah kekuatan intelektual sebagai kekuatan penjajahan. Bangsa kita sekarang sedang sakit. Seharusnya, ada pemahaman bahwa kekuatan intelektual tersebut mampu menjadi obat untuk mengobati sakitnya bangsa ini. Tidak ada gunanya kalau kekuatan intelektual tadi malah menjadi virus baru yang ternyata lebih mempercepat kematian bangsa kita. Bagaimana kekuatan intelektual ini nanti menjadi obor penyemangat kebangkitan bangsa kita sebagai bangsa yang berdaulat, tidak lagi dijajah, baik secara budaya, ekonomi, bahkan pemikiran. Saya kira (dengan mengambil kasus historis bangsa Jepang), upaya ’restorasi Meiji’ gaya baru perlu digulirkan di kalangan bangsa kita untuk mengakselerasi pemahaman dan kepercayaan diri bahwa kita sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki kepribadian.

Kekuatan moral adalah salah satu faktor panyengkuyung (pendorong) yang mampu memberikan hakikat jiwa pendidikan itu sendiri. Masyarakat tanpa nilai sama saja hutan belantara, yaitu ada kijang dimangsa singa, ada jerapah dimangsa buaya, bahkan ada kera yang tak malu (maaf) menunjukkan coitus dengan sesamanya. Berarti, apabila manusia tidak memiliki kekuatan moral, hal itu sama saja dengan para binatang. Bahkan lebih buas dan bodoh dari pada binatang (contoh : manusia berani membunuh sesama, namun jerapah tidak mau membunuh sesama. Contoh lain : saya kira di dunia ini belum pernah ditemukan kasus binatang homoseksual atau lesbian, namun ternyata manusia lebih maju dengan menjadikan homoseksual dan lesbian sebagai bagian dari gaya hidup). Kasus yang seringkali saya dapatkan di dunia mahasiswa (sebagai golongan masyarakat intelektual) yaitu adanya budaya adu fisik dalam menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya sepele. Contoh lainnya (berdasarkan info dari seorang penduduk) ditemukannya (maaf) alat kontrasepsi di beberapa tempat sampah tempat tinggal (kost) campur, apalagi di lingkungan kost yang tidak ada induk semangnya. Kalau masih menjadi mahasiswa saja sudah seperti itu, lha gimana jadinya nanti kalau sudah jadi pejabat (saya belum dapat membayangkan suatu bentuk penyimpangan moral model baru yang setingkat lebih tinggi dari budaya korupsi yang menjangkiti beberapa pejabat kita).

Kalau sampai saat ini dalam dunia pendidikan kita masih terus menghegemoni dengan kekuatan intelektual saja, maka terus terang saya masih bingung dengan teka-teki nasib bangsa ini ke depan. Dalam benak saya, mungkin tidak hanya Indosat atau Chandra Asri saja yang dijual, tapi juga rakyat atau bahkan harga diri bangsa ini yang nantinya akan dijual. Lantas apa bedanya rakyat dengan para pelacur dan pejabat dengan para germo?

Terkait dengan arah dan tujuan pendidikan, Rasulullah mengatakan dalam sebuah hadistnya, ”Bersepakatlah dan janganlah berbeda sehingga pendidikan kamu berdua berbeda”. Menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi kita yang secara langsung bersentuhan dengan dunia pendidikan, apalagi dunia pendidikan sebagai unsur sentral pembentuk peradaban.

Saya kok malah jadi bingung. Mungkin ada yang bisa memberi saya pencerahan? Nuhun...

-Bandung, waktu pagi hari dikala kebingungan mengerjakan sebuah karya, Tugas Akhir-

Salam,

twyunianto
Tanggapan atas tulisan Dr. Budi Rahardjo, Kebingungan Seorang Dosen (http://rahard.wordpress.com/2005/12/30/kebingungan-seorang-dosen/)
** Mantan Presiden Mahasiswa BEM KBM STT Telkom, member Forum Telematika Indonesia dan Everlasting Movement Forum


TW Yunianto
Mobile Comm Researcher, E Buildings Kav. 203
Telekomunikasi, Dayeuhkolot, Bandung 40257
Ph. +62-22-7564108
Mob. +62-8562231510/+62-22-91293382
www.twyunianto.co.nr

12 October 2006

Istriku Sakit

Penyakit ini memang penyakit menahun,dulunya setiap kali hendak melahirkan, bukan beberapa hari sebelum melahirkan, tetapi saat-saat menjelang melahirkan selalu terjadi.

Ketika hendak melahirkan anak yang pertama, mulai pembukaan satu, sudah ada tanda-tanda hendak naik. Sampai sesaat sebelum melahirkan, alat untuk mengukurnya sudah disingkirkan karena naiknya sudah sangat di atas wajar.

Setelah lahir anakku yang pertama, sang bidan harus jalan-jalan melepaskan diri dari ketegangan, dia telah meminta suaminya untuk mengajaknya. Melepaskan kepenatan, melepaskan ketegangan yang terjadi, melepaskan diri dari kukungan batas-batas medis. Semua harus dijalaninya, padahal jam menunjukkan waktu 24 lebih. Saya harus melepaskan stress yang menghimpit, katanya. Mau tahu saat itu berapa? 220/140! Alhamdulillah, bayiku selamat begitupun ibunya.

Para dokter spesialis menyatakan bahwa setelah tidak hamil atau hendak melahirkan maka penyakit itu akan hilang dengan sendirinya, namun kenyataan berbicara lain, tekanan darahnya tidak juga normal, kadang naik, kadang sebentar normal.

Untuk kejadian sekarang pemicunya tidaklah sesuatu yang berat hanya sekedar flu, sebenarnya. Dari dokter umum, sampai dokter spesialis Penyakit Dalam menyatakannya dari situ, flu. Namun efek terusan dari flu adalah membuat tekanan darahnya melonjak. Karena flu akan membuat batuk, membuat kurang tidur, dan pikiran kemana-kemana karena sedang kosong aktifitas.

Efek obat dari dokter yang tidak disukai adalah seperti orang bengong, tidak nyaman untuk dipakai berfikir, atau menggerakkan badan sekalipun, melayang rasanya, tidak mantap.

Bagiku sakit adalah menebus dosa-dosa kecil, sehingga kadangkala memang diperlukan sakit. Wajar pula mengharapkan sakit, dengan cara pandang yang benar, maka sakit tersebut menjadi pengurang dosa.

Allah telah berkenan menciptakan sakit, yang karenanya banyak orang yang diselamatkan di dunia maupun di akhirat. Coba jika tidak ada sakit, akan beratlah beban yang ditanggung seseorang, terus bekerja, terus bekerja, tak ada henti, badan perlu dbuat sakit, sehingga bisa istirahat dan merenungi diri: apa yang telah dicapai, apa yang belum dicapai untuk dapat meraih akhirat yang lebih baik.

09 October 2006

Mahasiswa STT Telkom Juara

Sore itu aku masih menunggu istriku yang sedang sakit, tekanan darahnya naik menjadi 200-an hanya gara-gara flu saja.

Seseorang yang bernama Rachmat meng-sms-ku. Ternyata dia mahasiswa STT Telkom yang beberapa hari sebelumnya bertemu denganku untuk minta restu berangkat ke Surabaya untuk bermain di IMCC yang diadakan oleh ITS.

Sms-nya sangat menggembirakan: Ada dua gelar yang disabet dalam event ini, yaitu juara 1 kategori Software mahasiswa dan juara Best Design. Alhamdulillah, inilah kehebatan mahasiswa STT Telkom. Beberapa prestasi telah diraih. Semoga menjadi obat untuk terus maju bersama.

08 October 2006

Negeri Bencana

Negeri bencana 16:112:
Dan Allah Telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian[841] kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.

[841] Maksudnya: kelaparan dan ketakutan itu meliputi mereka seperti halnya Pakaian meliputi tubuh mereka.


Gempa terus mendera, belum henti satu gempa, segera menyusul gempa yang lain, silih susul, yang berpotensi membawa kerusakan, maupun yang tak membawa kerusakan, namun ada pula yang membawa naik air bah yang menggulung apapun yang mampu digulungnya.

Asap membumbung tinggi tak juga henti, walau bom air telah dikerahkan, garam pun telah ditabur untuk turunkan air yg menguap di atas sana, namun tak juga mampu menghenti hotspot.

Ketika musim hujan pun sudah bersiap, maka berubah menjadi banjir, yang akan mengembalikan berbagai macam penyakit dan derita.

PKL dan satpol PP berdarah lantaran tak sudi lapaknya diberangus. Ketakmauan PKL menetapi aturan yang dibuat untuk pejalan kaki di trotoar, mengundang para penertib, mencoba memperindah wajah kota, wajah yang tampak kumuh, karena bedeng-bedeng tumbuh tak beraturan, plastik berbagai warna bergelanjut, dan pejalan kaki tak punya tempat yang nyaman untuk melenggang.

Mahasiswa pun tak malu bertindak seperti preman, hancurkan gedung tempat menimba ilmu, karena beda pendapat, beda keinginan. Akal budinya sudah diletakkan jauh di bawah sadarnya.

Kebakaran dimana korstleting terjadi, tak sedikit rumah yang luluh lantak, tak berbekas, bahkan beberapa jiwa menjadi korban juga.

Gambut, batubara muda, terbakar tak mampu henti, sebagaimana pohon-pohon rindang di daerah sana pun meranggas tak lagi bersisa, yang tinggal hanya asap membumbung menghalang burung besi terbang, menghalang kendaraan darat melaju dengan sepenuh hati. Terpaksa hidung dan mulut ditutup dengan filter yang membersihkan udara ke paru. Mempersulit diri, tidak mengenakkan diri, tidak menyamankan diri.

Lumpur tak henti muncrat mengotori tanah 400Ha, menenggelamkan sedikit demi sedikit pekarangan, halaman, kebun, dan rumah, meranggaskan pohon-pohon karena hangat suhunya. Dan tanah di atas pun turun 12cm per hari.

Pesawat terbang ambruk, tak mampu mendarat dgn mulus. Ataupun tak mampu lepas landas, tergolek, tergelinicir atau mbledug di langit sana.

Beras impor turut menjadi bencana... ah mengapa? Lantaran petani keteteran, harga impor lebih murah dibanding produk sendiri. Lho kok aneh, wong tak ada ongkos angkut.

Burung pun menebar flunya. Telah banyak manusia mati karenanya, panas tinggi berhari-hari, nafas tersengal, sulit menarik udara bersih. Menyebar flu ini tak tentu arah, lantaran burung terbang meninggi, lantaran burung terbang kemana angin membawa, dan kemana sarang berada.

Kereta api berkali-kali bermasalah, ambruk atap karena penumpang tak sopan duduk, mobil keseruduk, anjlok, atau paling besar tabrakan.

Oh, begitu banyak, begitu banyak bencana menimpa negeri. Sudahkah saatnya merenung diri dan mengubahnya?

Avatar the Legend of Aang

Episode Manusia Pohon

Saka sang adik, Tara sang kakak, dan Aang yang akan menjadi Avatar berjalan di hutan. Tiba-tiba Momo si bajing menjerit, terperangkap. Dengan mudahnya Aang bermain loncat dan membebaskannya. Saka sang adik amat tajam penglihatannya, dan wow ini perangkap yang dibuat pengendali api. Untuk memenuhi rasa penasaran ini, mereka berjalan. Dan tiba-tiba dibalik semak serombongan pengendali api sedang berkemah. Mereka terperangkap, seorang pengendali api melontarkan api, mereka terkepung. Saka yang mencoba memainkan diri dengan insting, merasa tak melakukan apapun, namun orang yang berhadapan dengannya ambruk. Seorang manusia pohon, Jack namanya berjumpalitan, menendang, menggerakkan dua potong besi berkait, mengkait pengendali api. Sekejap ambruk dan kocar kacir pasukan pengendali api.

Perang gerilya memang sedang dimainkan manusia pohon, mereka melibatkan anak-anak sebagai pasukan. Gerilya di dalam hutan dengan pohon yang besar dan tinggi-tinggi.

Keinginan untuk mengalahkan pengendali api membuat Jack (sang pemimpin manusia pohon) sebagai bentuk balas dendam, karena pengendali api telah membunuh orang tuanya. Berbagai rencana telah disusun dengan rapi.

Tak peduli dengan semua orang, bahwa ada orang-orang lemah yang tak perlu menjadi korban. Dia ingin hancurkan seluruh kota dengan menggunakan air di bendungan. Untuk itu bendungan perlu ditambah dengan air dari sumbernya, digunakanlah keahlian pengendali air, Tara dan Aang, untuk mengalirkan air langsung dari dalam bumi.

Saka yang menggunakan insting dalam bergerak berusaha mencari tahu apa yang akan dikerjakan oleh Jack. Saka yang mencoba keluar dari rencananya ini, tertangkap pasukan manusia pohon. Ketakhati-hatian membuat dua orang pasukan manusia pohon terkena jebakan yang dibuat mereka sendiri. Saka berhasil meyakinkan penduduk kota untuk naik ke bukit, sebelum ditenggalamkan air bah bendungan di gunung.

Untuk meraih kemenangan, tidak perlu menghancurkan seluruhnya, cukup orang-orang sombong yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan saja, yang telah jelas penentangannya terhadap Yang Maha Mengatur, dan tak mau sadar akan kedudukan dirinya sebagai manusia. Yang dengan kesombongannya itu merasa lebih mampu membuat aturan dibanding Aturan yang dibuat oleh Yang Maha Mengatur.

Aturan dari Yang Maha Mengatur, dianggapnya sudah kuno, dianggap hanya mengatur sebagian saja dari ranah hidup ini, hanya membela orang per orang tidak untuk keseluruhan yang lain juga, padahal pernah ditunjukkan secara nyata, terlihat dengan mata kepala, bahwa aturan tersebut telah mampu memberi keadilan dengan adil yang sejati, semua pihak, semua kelompok dalam naungan keadilan yang tak ada cacat didalamnya.

Mengalahkan itupun bukan dalam keinginan untuk menghancurkan sehancur-hancurnya, tetapi menundukkan kepada Yang Maha Menundukkan, sebuah kewajaran dan biasa-biasa saja. Jikalau ada yang menyatakan ingin membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat, tetapi membabi-buta tak peduli siapa yang dibabatnya, babat habis, tak ada sisa, wajib kita bertanya, apakah engkau telah menjadi agen untuk menghancurkan Aturan dari Yang Maha Mengatur?

Usia manusia

Sore ini (8 Oktober 2006) di televisi dipampang orang-orang yang dulu begitu gagah, begitu dielu-elukan. Karena wajahnya. Karena bentuk badan. Karena suaranya yang mampu mengalun merdu atau melengking berirama, namun tetap enak didengar. Atau karena kata-kata yang mampu disusunnya denga apik, sehingga yang lain bisa tergelak tawa, senang sesat. Atau karena lenggok tubuhnya yang semampai. Tapi itu dulu, dulu ketika mereka masih muda.

Sekarang mereka tergolek di atas kasur, hanya tangis yang bisa dilakukannya, suara sudah tak terdengar, hanya tangan yang masih mampu dikontrolnya.

Ada juga yang masih mampu berdiri, masih mampu berbicara, namun gerak kakinya harus diseret, karena kaki telah mati rasa, begitupun suara telah terdengar tidak jelas, karena stroke menjadikannya bermulut perot.

Yang masih bisa bersuara dengan baik, hanya mampu duduk di atas kursi roda, karena kanker menggerogotinya, membuat rambut rontok juga.

Ada juga yang masih mampu duduk, karena yang ditengok sama yang muda, memaksakan diri, sebenarnya sudah kesulitan karena radang prostat telah menjadikannya begitu.

Itulah memang manusia. Sejak di alam ruh mereka diambil persaksiannya. Di alam rahim mereka dipelihara oleh ibunya. Di alam dunia mereka dilahirkan: bayi, muda, gagah, ganteng, lucu, merdu suara, ada yang meninggal ketika masih muda, ada pula yang harus merasakan sakit tua, sehingga mereka lupa kembali akan masanya, dan mati. Sebagian mereka merasakan pahitnya perilaku yang tak seharusnya.

Lantas masuklah di alam kubur, sebagian sudah merasakan pahitnya akibat ketika tidak benar hidup di dunianya, Tuhan-nya tidak cukup hanya satu. Aturan-NYA dianggapnya tak mampu memenuhi keinginannya, maka diperlukan aturan lain yang sekiranya mampu menutupi anggapan kelemahan Aturan-NYA. Kepemimpinan-NYA mereka anggap terlalu diktator, tak menjunjung HAM, maka diperlukan cara kepemimpinan yang lain, yang dianggapnya mampu menutupi Kepemimpinan-NYA. Ketaatan hanya kepada-NYA pun dianggap tidak cukup. Maka di alam kubur sebagian kemusyrikan itu dirasakan akibatnya pula.

Sedikit orang yang dengan hanya satu Tujuan, satu arah, satu proses, satu dasar hidup. Yang dibalas dengan sedikit keindahan, kemudahan, kenikmatan, karena perbuatan ini.

Berikutnya di alam perhitungan, segalanya diperhitungkan mulai perbuatan yang hanya sebesar dzarrah hingga yang besar yang membahayakan dan menelantarkan banyak orang. Masing-masing orang bertanggung jawab terhadap hanya dirinya sendiri saja, tak ada kaitan dengan yang lain, sekalipun itu orang tua, anak, dan istri sekalipun.

Inilah akhir segalanya, alam akhirat, yang selamat mendapatkan ganjaran yang penuh kenikmatan, mengalir sungai-sungai dibawahnya. Di lain pihak, api yang menggelegak membakar, menghanguskan, namun kembali utuh, dan siksa yang demikian pedih perih akan terulang dan terus terulang.

Apakah hidupku sudah benar? Sehingga aku selamat di dunia dan di akhirat?

03 October 2006

Hidup Benar

Mau bagaimanapun, harus diyakini bahwa hidup ini bukan hanya di dunia saja. Banyak fakta yang menyatakannya, Harun Yahya telah pula mencoba untuk membuktikannya. Walaupun memang sulit untuk membuktikannya, karena alam nanti tidak sama dengan alam saat ini. Namun berbagai macam kitab suci, baik yang Islam maupun non Islam telah pula menyatakannya. Lantas mengapa masih ada ragu?

Pernyataan ini membuat kita harus berbuat sesuatu bukan lagi hanya ukurannya yang terasa di dunia saja, melainkan harus pula sampai terasa di akhirat kelak.

Secara keduniaan kita bisa melakukan kegiatan yang bersifat keduniaan, namun akan sampai di akhirat kelak. Kegiatan ini secara teknis memang kegiatan keduniaannya, misalnya makan, minum, mengetik, bekerja, berfikir untuk melakukan kegiatan, merencanakan kegiatan, menyapu, menulis buku, menulis blog, dll. Jadi? Jangan sampai kita mengatakan semua kegiatan itu tak dapat dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Untuk dapat dipertanggungjawabkan di akhirat kelak, jelas kita harus hidup benar, hidup yang memang ujungnya adalah hasil di akhirat, sekali lagi, sekalipun kegiatan tersebut hanya terlihat keduniaan semata, karena memang berkesan dilakukan di dunia saja.

Hidup benar ini ditandai oleh kata-kata ibadah.
Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (Ku-nya Allah juga)
Yang artinya jika kita berbuat sesuatu untuk beribadah kepadaNYA lantas untuk apa? Bukankah yang demikian ini berarti perbuatan tersebut tidak bermakna? Tidak ada nilai benarnya? Karena kontradiksi dengan harapan dari Yang Maha Mencipta? Tetapi apakah perbuatan itu hanya khusus saja, misalnya apakah hanya maghdlah saja (sholat, puasa, zakat, haji)? Tentunya perbuatan itu tidak hanya maghdlah saja, tetapi semua kegiatan itu bisa bermakna ibadah, bisa juga tak bermakna ibadah.

Hidup benar adalah ibadah kepada-NYA

02 October 2006

Mahasiswa Itu Lulus

Mahasiswa ini memang luar biasa, dengan segala kelemahan yang dia punya, akhirnya dia bisa lulus. Aslinya dia berasal dari Sulawesi Selatan, tetapi karena sesuatu hal, keluarganya pindah ke Bekasi.

Dengan segala jerih payahnya untuk menutup biaya hidup dan biaya sekolah, dia menjadi asisten laboratorium, dan juga berjualan kue hasil dari pekerjaan orang tuanya.

Pernah dia datang ke BKA memohon bantuan beasiswa atau apalah namanya, yang penting dia bisa melanjutkan kuliah di STT Telkom. Masalahnya saat itu beasiswa dari pihak ketiga tidak juga cair dan ada. Hingga akhirnya terpaksa menggunakan istilah pinjam dana dahulu. Ternyata semester berikutnya belum juga mampu membayar pinjaman ini.

Tetapi alhamdulillah, hari ini dia datang ke ruangan BKA dan menyatakan, sudah bekerja di Jakarta Pusat, dan telah bekerja selama seminggu sebagai programmer. Semoga dia mampu menjadi orang dan mengerti bagaimana hidup di dunia ini. Selamat!

Beasiswa PT Telkom

Setelah berjuang bertahun-tahun, sejak 2004, 2005 dan Alhamdulillah, akhirnya Ada kabar gembira, bahwa beasiswa dari PT Telkom kemungkinan akan cair. Berita ini saya peroleh dari Ibu Erna dosen TE yang sekarang bekerja di YPT Manajer Mutu Dan Akademik, yang memfasilitasi turunnya beasiswa dari CDC PT Telkom ke YPT.

Walaupun dari sisi jumlah lebih sedikit dibanding 2 tahun lalu. Beasiswa ini adalah 50 orang untuk kategori ekonomi Dan 50 orang untuk kategori prestasi. Dari sisi Dana sebesar 250.000,-Rp per orang. Lumayan Ada tambahan uang jajan.

Karenanya siap-siaplah mahasiswa STT Telkom yang akan ketiban rejeki ini. Yang jelas teknis pelaksanaan belum diketahui kapan akan cairnya.