16 October 2006

Tulisan TW tentang Pendidikan

From: tw yunianto
Date: 14/10/2006 21:25:08
To: bem 03-04; bem 05-06; bem 05-06; kharisma; SMU Kartasura; dosen; karyawan; Mahmud; budi pras; pak hery; pak gharis; tegangan_tinggi@yahoogroups.com
Subject: Kebingungan Seorang Mahasiswa

Kebingungan Seorang Mahasiswa
TW Yunianto**

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah tulisan karya Pak Budi Rahardjo (dosen ITB). Isinya sangat menarik, yaitu tentang kegundahan beliau sebagai seorang dosen. Judulnya pun bagi saya sangat provokatif, sehingga saya terinspirasi untuk membuat judul yang hampir mirip dengan judul yang beliau buat.

Dalam tulisan itu, Pak Budi menyatakan kebingungannya sebagai seorang dosen. Ya.. kebingungan beliau akan apa yang harus diberikannya kepada mahasiswa. llmu apa yang harus diberikan kepada mahasiswanya sehingga para mahasiswanya memang layak disebut sebagai seorang 'mahasiswa'.

Menjadi pertanyaan besar yang ada di benak saya, sebenarnya apa sih mahasiswa, siapa mahasiswa, dan kenapa mau jadi mahasiswa ? Terus terang, saya termasuk orang yang bingung terkait dengan pertanyaan retorik tersebut. Saya bingung terhadap keterkaitan antara orientasi pendidikan dengan eksistensi mahasiswa. Apa yang sebenarnya diinginkan dari dunia pendidikan, dan apa yang sebenarnya diinginkan oleh para pengelola pendidikan di negeri ini sehingga kita (mahasiswa) harus ada ?

Dalam diskusi ringan dengan beberapa rekan, saya mencoba mengorek orientasi-orientasi mereka terkait dengan keinginan mereka menjadi mahasiswa. Ada yang mengatakan untuk mencari kerja (bahkan lebih ekstrim lagi mencari uang dan kedudukan), ada yang mengatakan karena dipaksa oleh orang tua, ada yang mengatakan pingin mencari ilmu (ilmu yang bagaimana maksudnya?), dan ada pula yang sekedar mengikuti formalitas alur ‘kehidupan belajar’ (TK, SD, SMP, SMA, kuliah). Beragam pendapat yang saya dapatkan ternyata membawa saya kepada satu kesimpulan, yaitu tidak adanya orientasi yang tegas terhadap dunia pendidikan, khususnya di negeri kita. Kenapa hal ini bisa terjadi demikian? Ada satu tesis yang menarik yang saya tangkap dari pemikiran Pak Budi, polarisasi orientasi pendidikan di Indonesia lebih disebabkan karena adanya kesemrawutan pola pikir dan orientasi pendidik.
Ketika hal itu saya rasakan, ternyata cukup realistis juga apa yang beliau sampaikan, bahwa pelaku pendidikan di negeri ini, khususnya setelah momentum kemerdekaan, terjadi sebuah tragedi yang dinamakan (menurut saya) instanisasi paradigma pendidikan. Kenapa hal ini terjadi ? Saya merasakan setelah masa kemerdekaan, sepertinya tidak ada lagi sesuatu yang strategis sebagai common vision yang mampu menggerakkan seluruh komponen pendidikan ke arah yang sama. Masing-masing merasa diberikan kebebasan untuk menerjemahkan visi-visinya, sehingga antara visi satu dengan visi yang lain belum tentu searus-sejalan.

Saya masih ingat ketika orde Baru meneguhkan orientasi pendidikan melalui pembangunan sektor teknologi dan industri. Analisa saya, dari adanya sentralisasi isu tersebut, maka paling tidak timbul sebuah pemahaman akan pembangunan dunia pendidikan beserta manusia didiknya untuk mengabdi kepada industrialisasi dan teknologisasi, sehingga ketika orang-orang pendidikan 'pembangkang' (baca: orang yang tidak menganut madzhab industri dan teknologi) dianggap sebagai orang-orang kolot dan ketinggalan zaman. Hasilnya adalah, insinyur menjadi impian setiap orang, bekerja di perusahaan bonafit papan atas menjadi impian setiap orang, posisi direktur menjadi impian setiap orang. Dunia pendidikan seolah hanya ditujukan untuk mencetak ’buruh-buruh teknokrat’. Bahkan yang terjadi juga, menurut saya ini adalah hal yang sangat lucu, ketika tidak menjadi bagian dari masyarakat industri dianggap sebagai masyarakat yang tidak sukses. Ekses yang lain juga terjadi dalam dunia pendidikan itu sendiri, yaitu kecenderungan peserta didik untuk menjadi karyawan perusahaan dari pada menjadi guru/dosen/pengajar. Sepertinya ironis juga dunia pendidikan kita yang mulai sepi peminat.

Kebingungan seorang mahasiswa, dimana letaknya ?
Sampai saat ini, saya masih suka bertanya kepada diri saya, sebenarnya orientasi dari perguruan tinggi itu apa? Apakah mencetak para buruh intelektual (karyawan industri) seperti di atas? Mencetak para pemimpin bangsa yang sekarang sedang mabuk kepayang dengan korupsi? Mencetak para budayawan yang sekarang ini semakin aneh dengan pemikiran-pemikirannya tentang nilai dan norma? Mencetak para ustadz dan kiai yang sekarang kadang membuat bingung jama'ah dengan ideologi-idoelogi liberal mereka? Atau mencetak para tentara yang dari dulu sampai sekarang terkesan angker dan memposisikan dirinya sebagai body guard penguasa?

Mahasiswa, saya kira ada satu hal yang harus menjadi bahan pemikiran bersama. Adakah value added seorang mahasiswa ketika dibanding dengan masyarakat lainnya? Katakanlah para politikus, pedagang, petani, buruh, dan sebagainya. Saya mendapatkan sebuah kosakata yang terkait dengan mahasiswa. Dunia mahasiswa seharusnya identik dengan intellectual power. Ketika militer identik dengan battle power, atau politikus identik dengan political power, maka disinilah kita juga mendapatkan peran yang sepadan dalam diri mahasiswa dengan dunia yang lain. Mahasiswa adalah kekuatan intelektual. Kampus adalah rumah intelektual, atau boleh juga kalau kita mengatakan istana intelektual.

Ketika kita menyadari bahwa mahasiswa memiliki sebuah nilai kekuatan intelektual, maka setidaknya ada sebuah kaidah yang mampu memupuk kekuatan tadi menjadi kekuatan yang sempurna-paripurna. Ilmu yang benar, kalau diaplikasikan secara salah malah dapat lebih berbahaya. Bagaimana kekuatan intelektual tadi mampu menjadi lentera yang mampu menyinari kegelapan malam. Saya mencoba memberikan sebuah gambaran, ketika mahasiswa identik dengan dunia anti-kemapanan, maka sebenarnya disana terdapat banyak sekali dinamisasi atau bahkan tribulasi yang berusaha untuk mematikan lentera itu. Dalam dunia nyata, bolehlah kita mengibaratkan lentera itu sebuah lilin yang disekitarnya banyak hembusan angin yang mampu mematikan nyala apinya. Secara logika, untuk mempertahankan nyala lentera (lilin) itu dari gangguan (angin) tadi adalah dengan memberinya sebuah perisai (shield) transparan yang mampu menghalangi kencangnya tiupan angin namun juga tidak menghalangi cahaya api lilin untuk tetap menerangi sekitar. Untuk itulah (dalam bahasa Jawa) teplok lebih terjamin nyala apinya dari pada lilin, karena teplok memiliki shield dari kaca transparan yang tipis yang mampu menahan gangguan angin terhadap nyala api.

Silogisme shield kaca kalau dalam dunia pendidikan, menurut saya adalah kekuatan moral. Kalau ingin kekuatan intelektual tadi ingin tetap menyala dan mampu menerangi kehidupan kita dan bangsa kita ke depan, maka menurut saya ada satu kekuatan lagi yang kita perlukan, yakni kekuatan moral.
Namun sebelumnya harus dipahami bahwa kekuatan intelektual adalah sesuatu yang bernilai kausalitas, artinya sesuatu yang terjadi karena sebab akibat, yakni adanya sang Pencipta, Allah Rabbul 'Alamin, sehingga mau tidak mau kekuatan 'api' intelektual tadi harus berbahan bakar dari kekuatan spiritual yang identik dengan keimanan.

Sekarang kita memahami ada tiga kekuatan yang seharusnya ada dalam dunia pendidikan, termasuk dunia mahasiswa, yakni kekuatan spiritual, kekuatan intelektual, dan kekuatan moral. Sepertinya inilah yang menurut saya menjadi sebuah komponen penyusuun yang ideal dalam dunia pendidikan. Kekuatan spiritual lebih difokuskan pada pemahaman akan eksistensi manusia terkait dengan tugas dan fungsinya (hakikat penciptaan), dalam hal ini kalau dalam dunia pendidikan maka eksistensi pelaku pendidikan (guru dan peserta didik). Saya kira akan menjadi sesuatu yang harmonis apabila setiap pelaku pendidikan 'menyadari' akan peran dan fungsi mereka. Realita sekarang, memang banyak pelaku pendidikan yang pintar (di Indonesia sudah banyak profesor, doktor), namun masih sedikit dari orang-orang pintar itu 'mengerti'. Mereka sepertinya (maaf) meng-aristokrat-kan diri mereka untuk interest-interest mereka masing-masing. Mereka terlalu asyik dengan teori, sehingga saya khawatir kalau nanti yang terjadi adalah kemunculan para mahasiswa (calon pemimpin bangsa) yang teoretik. Hasilnya adalah orang-orang yang gagap dalam paradigma. Saya kira saya mengambil sampel dalam dunia sosial bahwa satu ditambah satu tidak selalu dua. Dan satu hal lagi terkait dengan masalah teori ilmu dan kekuatan spiritual, bahwa beberapa dari teori ilmu yang dibuat manusia seringkali membuat kondisi chaos (bingung), hal ini dapat kita lihat dari adanya ilmu-ilmu yang malah membuat manusia merasa semakin merasa digdaya sehingga melupakan nilai-nilai Illahiyyah, Godless Paradigm.

Kekuatan intelektual adalah sesuatu yang amat potensial. Dari dunia pendidikan (kampus), akan muncul para pemimpin-pemimpin generasi. Praktisnya, kita dapat mengatakan para presiden, menteri, gubernur, bupati, bahkan camat dan carik (sekretaris desa) adalah orang-orang lulusan dari candradimuka pendidikan (khususnya perguruan tinggi). Berangkat dari statement tersebut, paling tidak kita meyakini bahwa nantinya kekuatan yang akan berpengaruh dalam kebijakan-kebijakan membangun peradaban nantinya adalah kekuatan intelektual. Lantas bagaimana memanifestasikan kekuatan intelektual tersebut menjadi sesuatu yang berdaya guna? Saya kira, tidak ada gunanya kalau kekuatan intelektual digunakan sebagai senjata pemusnah peradaban, atau state realistisnya adalah kekuatan intelektual sebagai kekuatan penjajahan. Bangsa kita sekarang sedang sakit. Seharusnya, ada pemahaman bahwa kekuatan intelektual tersebut mampu menjadi obat untuk mengobati sakitnya bangsa ini. Tidak ada gunanya kalau kekuatan intelektual tadi malah menjadi virus baru yang ternyata lebih mempercepat kematian bangsa kita. Bagaimana kekuatan intelektual ini nanti menjadi obor penyemangat kebangkitan bangsa kita sebagai bangsa yang berdaulat, tidak lagi dijajah, baik secara budaya, ekonomi, bahkan pemikiran. Saya kira (dengan mengambil kasus historis bangsa Jepang), upaya ’restorasi Meiji’ gaya baru perlu digulirkan di kalangan bangsa kita untuk mengakselerasi pemahaman dan kepercayaan diri bahwa kita sebagai bangsa yang berdaulat dan memiliki kepribadian.

Kekuatan moral adalah salah satu faktor panyengkuyung (pendorong) yang mampu memberikan hakikat jiwa pendidikan itu sendiri. Masyarakat tanpa nilai sama saja hutan belantara, yaitu ada kijang dimangsa singa, ada jerapah dimangsa buaya, bahkan ada kera yang tak malu (maaf) menunjukkan coitus dengan sesamanya. Berarti, apabila manusia tidak memiliki kekuatan moral, hal itu sama saja dengan para binatang. Bahkan lebih buas dan bodoh dari pada binatang (contoh : manusia berani membunuh sesama, namun jerapah tidak mau membunuh sesama. Contoh lain : saya kira di dunia ini belum pernah ditemukan kasus binatang homoseksual atau lesbian, namun ternyata manusia lebih maju dengan menjadikan homoseksual dan lesbian sebagai bagian dari gaya hidup). Kasus yang seringkali saya dapatkan di dunia mahasiswa (sebagai golongan masyarakat intelektual) yaitu adanya budaya adu fisik dalam menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya sepele. Contoh lainnya (berdasarkan info dari seorang penduduk) ditemukannya (maaf) alat kontrasepsi di beberapa tempat sampah tempat tinggal (kost) campur, apalagi di lingkungan kost yang tidak ada induk semangnya. Kalau masih menjadi mahasiswa saja sudah seperti itu, lha gimana jadinya nanti kalau sudah jadi pejabat (saya belum dapat membayangkan suatu bentuk penyimpangan moral model baru yang setingkat lebih tinggi dari budaya korupsi yang menjangkiti beberapa pejabat kita).

Kalau sampai saat ini dalam dunia pendidikan kita masih terus menghegemoni dengan kekuatan intelektual saja, maka terus terang saya masih bingung dengan teka-teki nasib bangsa ini ke depan. Dalam benak saya, mungkin tidak hanya Indosat atau Chandra Asri saja yang dijual, tapi juga rakyat atau bahkan harga diri bangsa ini yang nantinya akan dijual. Lantas apa bedanya rakyat dengan para pelacur dan pejabat dengan para germo?

Terkait dengan arah dan tujuan pendidikan, Rasulullah mengatakan dalam sebuah hadistnya, ”Bersepakatlah dan janganlah berbeda sehingga pendidikan kamu berdua berbeda”. Menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi kita yang secara langsung bersentuhan dengan dunia pendidikan, apalagi dunia pendidikan sebagai unsur sentral pembentuk peradaban.

Saya kok malah jadi bingung. Mungkin ada yang bisa memberi saya pencerahan? Nuhun...

-Bandung, waktu pagi hari dikala kebingungan mengerjakan sebuah karya, Tugas Akhir-

Salam,

twyunianto
Tanggapan atas tulisan Dr. Budi Rahardjo, Kebingungan Seorang Dosen (http://rahard.wordpress.com/2005/12/30/kebingungan-seorang-dosen/)
** Mantan Presiden Mahasiswa BEM KBM STT Telkom, member Forum Telematika Indonesia dan Everlasting Movement Forum


TW Yunianto
Mobile Comm Researcher, E Buildings Kav. 203
Telekomunikasi, Dayeuhkolot, Bandung 40257
Ph. +62-22-7564108
Mob. +62-8562231510/+62-22-91293382
www.twyunianto.co.nr

2 comments:

  1. tidak perlu bingung. dengan menulis ini saja sudah sangat berguna bagi yang membaca, termasuk saya :)

    ReplyDelete
  2. Tulisan TW amat dan sangat bagus. Mestinya pendidikan itu mengarahkan seseorang kepada kemerdekaan sejati, yaitu kemerdekaan yang menempatkan seseorang bukan menjadi orang yang terjajah ataupun menjadi penjajah. Orang yang merdeka sejati adalah orang yang hanya ta'at, tunduk dan patuh hanya pada Yang Maha Mendidik dan Maha Mengatur. Jadi, seorang yang merdeka sejati sudah pasti tidak membawa kegiatannya ke dalam ketundukkan kepada selain Yang Maha.

    ReplyDelete