08 October 2006

Usia manusia

Sore ini (8 Oktober 2006) di televisi dipampang orang-orang yang dulu begitu gagah, begitu dielu-elukan. Karena wajahnya. Karena bentuk badan. Karena suaranya yang mampu mengalun merdu atau melengking berirama, namun tetap enak didengar. Atau karena kata-kata yang mampu disusunnya denga apik, sehingga yang lain bisa tergelak tawa, senang sesat. Atau karena lenggok tubuhnya yang semampai. Tapi itu dulu, dulu ketika mereka masih muda.

Sekarang mereka tergolek di atas kasur, hanya tangis yang bisa dilakukannya, suara sudah tak terdengar, hanya tangan yang masih mampu dikontrolnya.

Ada juga yang masih mampu berdiri, masih mampu berbicara, namun gerak kakinya harus diseret, karena kaki telah mati rasa, begitupun suara telah terdengar tidak jelas, karena stroke menjadikannya bermulut perot.

Yang masih bisa bersuara dengan baik, hanya mampu duduk di atas kursi roda, karena kanker menggerogotinya, membuat rambut rontok juga.

Ada juga yang masih mampu duduk, karena yang ditengok sama yang muda, memaksakan diri, sebenarnya sudah kesulitan karena radang prostat telah menjadikannya begitu.

Itulah memang manusia. Sejak di alam ruh mereka diambil persaksiannya. Di alam rahim mereka dipelihara oleh ibunya. Di alam dunia mereka dilahirkan: bayi, muda, gagah, ganteng, lucu, merdu suara, ada yang meninggal ketika masih muda, ada pula yang harus merasakan sakit tua, sehingga mereka lupa kembali akan masanya, dan mati. Sebagian mereka merasakan pahitnya perilaku yang tak seharusnya.

Lantas masuklah di alam kubur, sebagian sudah merasakan pahitnya akibat ketika tidak benar hidup di dunianya, Tuhan-nya tidak cukup hanya satu. Aturan-NYA dianggapnya tak mampu memenuhi keinginannya, maka diperlukan aturan lain yang sekiranya mampu menutupi anggapan kelemahan Aturan-NYA. Kepemimpinan-NYA mereka anggap terlalu diktator, tak menjunjung HAM, maka diperlukan cara kepemimpinan yang lain, yang dianggapnya mampu menutupi Kepemimpinan-NYA. Ketaatan hanya kepada-NYA pun dianggap tidak cukup. Maka di alam kubur sebagian kemusyrikan itu dirasakan akibatnya pula.

Sedikit orang yang dengan hanya satu Tujuan, satu arah, satu proses, satu dasar hidup. Yang dibalas dengan sedikit keindahan, kemudahan, kenikmatan, karena perbuatan ini.

Berikutnya di alam perhitungan, segalanya diperhitungkan mulai perbuatan yang hanya sebesar dzarrah hingga yang besar yang membahayakan dan menelantarkan banyak orang. Masing-masing orang bertanggung jawab terhadap hanya dirinya sendiri saja, tak ada kaitan dengan yang lain, sekalipun itu orang tua, anak, dan istri sekalipun.

Inilah akhir segalanya, alam akhirat, yang selamat mendapatkan ganjaran yang penuh kenikmatan, mengalir sungai-sungai dibawahnya. Di lain pihak, api yang menggelegak membakar, menghanguskan, namun kembali utuh, dan siksa yang demikian pedih perih akan terulang dan terus terulang.

Apakah hidupku sudah benar? Sehingga aku selamat di dunia dan di akhirat?

No comments:

Post a Comment