29 August 2006

Sedih

Ini bukan tulisanku, tetapi aku respek terhadapnya.

From: Munawar Kholil
To: Milis KG17 ; Milis GAMAIS
Sent: Tuesday, August 29, 2006 12:57 AM
Subject: [AlumniMuslimITB] Isi Ceramah Pak Amien di ITB

Assalaam wr. wb.

Isteri saya yang sedang merantau di MACAU, memaksa-maksa saya untuk mengirim email ceramah pak Amien di ITB kepadanya. Untuk menghibur dia yang jelas kesepian, saya tuliskan isi ceramah pak Amien sebagaimana yang saya tangkap.. Dan dari pada cuma dikirm ke isteri, saya juga sampaikan kepada rekan-rekan.. Tentu saja isi tulisan ini sudah tidak sama persis dengan ceramah beliau. Mungkin ada yang terlupa atau malah ketambahan.
Isi Ceramah Pak Amien di depan Mahasiswa Islam ITB.

(a) Dalam pergaulan intenasional, saat ini Indonesia itu dalam kedudukan seperti pepatah melayu : masuk tidak menggenapkan, keluar tidak mengganjilkan. Artinya nggak dianggap lagi. Ukurannya sederhana, Indonesia jarang muncul di koran International Herald Tribune. Jauh dibandingkan Malaysia, Thailand, Singapura, apalagi Cina. Kalaupun muncul, biasanya masalah bencana tsunami, gempa, longsor, penyebaran flu burung, hingga korupsi. Pokoknya yang jelek-jelek lah. Dalam berbagai kesempatan perjalanan ke luar negeri, beliau juga merasakan betapa sebagai anak bangsa sering kesal dan terkadang jadi agak minder karena kenyataan itu.

(b) Salah satu penyebab keadaan di atas adalah karena tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih tertinggal dibanding negara lain. Sebagai contoh, penguasaan teknologi nuklir kita masih tertinggal satu generasi dibanding Pakistan. Padahal justru hal inilah yang paling menentukan daya saing bangsa saat ini. Pak Amien memberikan contoh kota Shanghai. Kepada pak Amien, walikota Shanghai mengatakan bahwa 70 persen pendidikan tinggi adalah politeknik. Dan secara umum, RRC memang memprioritaskan penguasaan teknologi ini. Hasilnya? Akhir tahun lalu, cadangan devisa RRC sudah melampaui 1 milyar dolar. Bandingkan dengan cadangan devisa RI yang berkisar 30 juta dolar! Dengan landasan berpikir seperti itu, maka pak Amien menkankan pentingnya peran para mahasiswa ITB ini di kemudian hari.

(c) Ada logika sederhana disampaikan pak Amien. Pemerintah kita selalu beralasan ketiadaan dana sebagai sebab tidak berhasil maju seperti negara lain. Mau meningkatkan anggaran pendidikan, tidak ada uang. Mau meningkatkan kekuatan militer, tidak ada uang. Singkatnya, ketiadaan uang adalah alasan bagi seluruh kegagalan bangsa untuk bisa bersaing. Lha lalu di mana kekayaan negara yang berlimpah dari karunia Allah itu? Paling banyak dikeruk oleh perusahaan-perusahaan asing. Akibatnya kita tidak punya uang, lalu terpaksa utang. Sudah begitu, lebih sial lagi, utang itu dikorupsi pula oleh elit-elit pemimpin.

(e) Selain rendahnya penguasaan teknologi, sola mentalitas juga sangat besar pengaruhnya.Sebagai bangsa saat ini kita sudah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, jadi bangsa sontoloyo menurut SUkarno. Lalu beliau menceritakan sebuah anekdot tentang SI AMAT MENCARI CINCINNYA YANG HILANG.

Alkisah ada seorang bernama Amat. Suatu hari ia kehilangan cincinnya. Begitu pentingnya cincin itu, maka ia segera mencarinya. Ia keluar rumahnya, mencari di halaman dan kebun. DIbolak-balik di sana sini tidak juga ketemu. Hal ini menarik perhatian tetangganya : ada apa gerangan si Amat kebingungan mutar-muter di kebun. Si tetanggal bertanya T : Ada apa sih pak AMat kok kelihatan bingung A : Saya mencari concin saya yang hilang T : Lho emangnya hilangnya di mana? A : Seingat saya, cincin saya itu hilang di dalam rumah saya. T : Lalu mengapa pak AMat mencarinya di luar rumah? A : Soalnya di dalam rumah saya gelap, jadi saya cari di luar yang lebih terang.

Apa moral cerita ini? Wong jelas tahu cincinnya hilang di dalam rumah, tapi kok dicarinya di luar rumah. Hanya karena di dalam rumah gelaap! Bego kan?
Kita sebagai bangsa seperti pak AMat itu. Sesungguhnya para cerdik pandai yang menjunjung tinggi nurani sudah tahu problema negara ini dan bagaimana mengatasinya. Namun penyelesaian itu tidak diambil oleh para elit politik karena mereka malas. Mereka enggan berpikir kreatif dan semata-mata memasrahkan urusan kepada para penasihat asing!
(f) Seperti biasa, soal pertambangan juga menjadi tema besar pak Amien. Di ceramahnya pak AMien sudah menyebut bahwa korupsi terbesar adalah di sektor pertambangan. Kalau korupsi markup harga helikopter, atau calau urusan haji, itu ecek-ecek saja dibanding besarnya kerugian negara akibat pengambilan kekayaan tambang kita secara ugal-ugalan oleh korporasi internasional. Beliau mengambil contoh Freeport. Tailing (limbah tanah yang diambil bersama emas/perak/tembaga lalu dipisah) yang digelontor dari pegunungan Jaya Wijaya ke selat Arafura itu sudah sangat besar. Kalau volume tailing itu di gelontorkan ke Jabotabek, maka Jabotabek akan tenggelam terurug sedalam 10 meter. Ironisnya, proses pengambilan kekayaan tambang itu sama sekali tidak bisa kita periksa. Prof Subroto (Menteri Pertambangan Era Suharto) pernah memberitahu paka AMien bahwa ada pasal-pasal dalam perjanjian kotrak karya dengan Freeport yang dirahasiakan. DPR pun tidak boleh mengetahui! Lebih ironis lagi karena kontrak karya itu berakhir tahun 2040-an. Pada waktu itu, kata pak AMien, beliau, SBY, atau Jusuf kalla insya Allah sudah di alam baka. Lalu anak cucu kita tinggal mendapatkan bumi yang telah dirusak oleh perusahaan asing itu tanpa memberikan keuntungan yang layak untuk bangsa kita. Bisa-bisa anak cucu itu akan melaknat kita.

Kejadian serupa Freeport itu juga terjadi di Newmont hingga berbagai kontrak karya bidang perminyakan. Termasuk yang paling akhir di blok Cepu. Ikatan ahli geologi bahkan protes keras karena sebuah tambang yang sudah produktif dan gampang ngurusnya kok malah dikasih ke perusahaan asing.

Masih soal yang sejenis, beliau bercerita ketika jadi ketua MPR pernah berdialog dengan Goh Cok Tong. Pak Amien bertanya kepada Goh : Mengapa SIngapura tega mencuri pasir laut dari Riau untuk mereklamasi pantai mereka hingga bertambah seluas 200 km2? Goh menjawah : Kami tidak mencuri kok, kami membeli pasir dari pasar internasinal. Pak Amien menukas : Tapi Anda tahu bukan bahwa asal-usul pasir itu dicuri dari pulau-pulau Indonesia? Gok Cok Tong tidak lagi menjawab dan secara demokratis mengatakan akan mendikusikan hal itu dengan rekan-rekannya di Singapura. Kepada saya dan adik-adik GAMAIS beberapa waktu lalu beliau juga berkata bahwa untuk reklmasi pantai singapura itu, 3 pulau sudah lenyap dari peta Indonesia. Tenggelam, habis diangkut ke negeri tetangga kita yang kaya raya itu.

(g) Salah satu pertanyaan paling menarik diajukan salah seorang kader GAMAIS. Kalau (sekali lagi kalau) Pak Amien diberi kesempatan mengurus negara ini, apa yang dilakukan pertama kali?
Dengan mantap Pak AMien menjawab : Meski tidak persis, yang akan dilakukan mirip apa yang dilakukan Hugo Chavez (Venezuela) dan Morales (Bolivia). Pada hari-hari pertama pemerintahan, angkatan bersenjata akan menduduki seluruh pertambangan yang dikelola pihak asing, menghentikan seluruh operasional. Lalu para pemimpinnya dipanggil presiden dan diberi pilihan dua hal : (1) tinggalkan negeri ini, seluruh investasi yang telah ditanam akan dibayar oleh pemerintah, (2) mari kita negosiasikan lagi kontrak karya menjadi lebih adil dan masuk akal, untuk sebesar mungkin kepentingan bangsa. Pak Amien yakin, mayoritas perusahaan asing itu akan bertindak sama seperti yang terjadi di Venezuela : memilih pilihan kedua.
Nah dengan menghentikan perampokan kekayaan alam oleh pihak asing ini, maka Insya Allah sedikit demi sedikit kita akan mempunyai biaya untuk bangkit sebagai bangsa! Semua hadirin tepuk tangan. yang paling keras di antaranya pak rektor yang kebetulan duduk dua kursi di kiri saya. Beliau berkomentar : saya nggak habis pikir, kalau bangsa ini beres dalam berpikir, mestinya pak Amien yang harus memenangkan pemilihan presiden! (f) Bagian penutup ceramah pak Amien selalu mirip. Beliau menyanyikan sebuah lagu tradisional Amerika yang isinya bahwa kami selalu siap untuk maju, lalu anak kami lebih maju, lalu cucu kami lebih maju, dan seterusnya. Semuanya untuk bangsa yang besar ini (USA).. Dan yang lebih akhir lagi tentu lagu Ibu Pertiwi : (karena suara pak AMien sudah hampir habis, beliau tidak lagi menyanyi, cuma dibacakan)
Kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati Air matanya berlinang Emas intannya terkenang Gunung sawah serta lautan timbunan kekayaan Kini ibu sedang lara Merintih dan berdoa.

Ini bagian pertama lagu Ibu pertiwi. Ada bagian kedua yang juga dibaca pak Amien, tapi aku nggak hapal. Intinya kira-kira bahwa kami ini putra pertiwi, akan selalu menyerahkan seluruh daya tenaga untuk ibu pertiwi. Jad ibu pertiwi jangan menangis lagi. Kalau rekan-rekan ada yang hapal, mohon diupload secara lengkap lagu itu.
Cukup sekian dulu.

Wassalaam.


M. Kholil

2 comments:

  1. From: Heru Prabowo
    To: AlumniMuslimITB@yahoogroups.com
    Sent: Tuesday, August 29, 2006 10:07 AM
    Subject: [AlumniMuslimITB] Nyali [Re: Isi Ceramah Pak Amien di ITB]


    Ustadz Kholil & sahabat KG17.

    Akan selalu menarik & asyik ketika kita "beramal" pada level wacana. Demikianlah maka kita pernah mengalami betapa Aula Barat, Student Centre, masjid Salman - dan area publik lainnya kita semaraki dengan ceramah maupun diskusi yang menawan, membuka wawasan sekaligus obsesi, menyadarkan sekaligus membius, menawarkan solusi sekaligus menyesatkan pikiran orang banyak. Oleh karena itu sebaiknya tidak hanya ketika akan tadarus Qur'an kita mulai dengan bacaan ta'awudz & basmalah, tetapi juga ketika akan membaca buku, mendengarkan ceramah, dan berdiskusi.

    Mohon maaf kalau pengantar saya terkesan kritis bahkan sinis. Sudah habis waktu kita untuk beromantis-ria mewacanakan nasib atau masa depan negeri ini. Sudah masanya, dan insya Allah begitulah etika muslim berwacana, kita ulas topik semacam ini secara lugas, sederhana, dan berorientasi konkret. Nuwun sewu mas Amin, tanya & kritik saya berikut mungkin terasa pedas.

    Apa bedanya Chaves dengan Amin Rais? Hanya satu: NYALI! Lho kok?
    Tahun 1999 menjelang SI MPR dukungan mayoritas fraksi & unsur di MPR sudah jelas mengerucut kepada satu figur capres: Amin Rais Sang Pemimpin Revolusi. Apa yang terjadi di balik ruang & kamar tempat loby & musyawarah rasanya sudah menjadi rahasia umum, dan mungkin kurang etis untuk diungkap di sini. Yang jelas pada ujungnya adalah: Gus Dur maju bergandengan dengan Mega tanpa pesaing yang berarti? Kemana Amin Rais, yang sampai menjelang subuh masih digadang-gadang sebagai calon Presiden RI ke-4? Seandainya waktu itu mas Amin tidak menolak "penunjukan" tersebut, maka seharusnya isi ceramah di ITB tadi tidak akan jatuh sekedar menjadi wacana, tetapi AKSI NYATA. Karena mas Amin tidak perlu lagi bicara "seandainya saya Presiden RI ...", tetapi "sebagai Presiden RI maka saya memerintahkan ...". Nasi sudah menjadi bubur, mas Amin. Yang membedakannya di menit-menit terakhir hanya satu kata: NYALI! Nyali untuk mengambil risiko menjadi pemimpin di saat-saat yang kritis-bergolk, bukan di saat-saat aman-tenteram. Nyuwun pangapunten, mas Amin yang sangat saya hormati. Waktu panjenengan sudah lewat.

    Apa persamaan Chaves dengan Suharto? Nyali! Ketika Bosnia menjadi ladang pembantaian kaum muslimin dan para kepala negara hanya berteriak-teriak mengecam, seperti saat ini terjadi dalam kasus Lebanon Selatan, Suharto menggemparkan publik dalam negeri (dan dunia) dengan terbang dan mendarat langsung di Bosnia untuk menunjukkan dukungan politik RI & rakyat Indonesia terhadap penderitaan rakyat Bosnia. Mulut sebagian besar penentang Suharto di dalam negeri pun untuk sementara terbungkam. Suharto, dan Chaves sekarang, benar-benar punya nyali lebih!

    Apa persamaan & perbedaan SBY dengan Chaves? Persamaannya jelas: sama-sama sedang menjabat Presiden suatu negara miskin yang banyak didominasi kekuatan kapitalis & politis AS. Perbedaannya: Chaves jelas terbukti punya nyali besar, sedangkan SBY jelas-jelas tidak (sampai-sampai tega menjulukinya "Susi" - seharusnya kaum wanita protes). Bapak Presiden, nyali saat ini mahal. Berapa anda sanggup membelinya?

    Membasmi koruptor sistematis, perlu nyali (jangan-jangan kuatir peluru salah sasaran mengena diri & kroni sendiri). Memandirikan ekonomi, perlu nyali. Membela yang lemah di Arab, perlu nyali.

    Demikian pula nyali-lah yang membedakan gerilyawan Hizbullah era 2006 dengan pasukan gabungan Arab tahun 1970-an. Sebagaimana banyak diulas analis militer, selain faktor pasokan senjata Iran-Rusia dll, nyali gerilyawan Hizbullah untuk mendekati posisi tank-tank Israel, yang teoritis merupakan jenis tank tercanggih di dunia, mengubah posisi barisan tank Israel dari posisi pemburu berbalik menjadi buruan yang terbirit-birit.

    Maafkan kami, ya Allah. Kami miskin, kami lemah, kami tertipu, kami tertindas, kami dirampok habis-habisan - karena kecilnya nyali kami.

    Maafkan saya, mas Amin. Panjenengan saya jadikan studi kasus penyakit kronis para pemimpin negeri ini: kecil nyali!

    Surabaya, 29/8/06
    - hp -

    ReplyDelete
  2. Mas Heru yang saya hormati,
    Masalah nyali Mas Amin, saya kurang tahu, tetapi kalau untuk peristiwa 1999, saya sedikit tahu, karena saat itu saya bisa nongkrong di depan TV seharian full (tidak kerja? Biasa, mbolos) karena kondisi gonjang ganjing negeri membuat saya menyempatkan diri untuk bolos kerja dengan mengamati TV berjam-jam. Mungkin kalo saat ini, saya akan kesulitan melakukan hal yang sama, kecuali di luar hari kerja.

    Saat itu, setelah Mas Amin terpilih menjadi Ketua MPR, seingat saya sebelum diangkat, komentar kelompoknya Ali Sadikin diburu oleh stasiun TV untuk berkomentar, jumlah anggota dari Partai Mas Amin yang di MPR, sama kita tahu amat tidak memenuhi syarat, karena hanya sekitar 15% atau bahkan kurang. Maka dengan sinis Ali Sadikin berkomentar, wah setelah menjadi Ketua MPR, maka selanjutnya akan menjadi Presiden. Kalimat itu diucapkan Ali Sadikin dengan sinis.

    Maka Mas Amin langsung panas dan berkomentar: saya tidak akan menjadi Presiden, saya commited dengan statement ini.

    Saya pikir Pemimpin haruslah: Sabdo Pandito Ratu, artinya apapun yang dikatakannya harus menjadi kenyataan, satunya ucapan dengan langkah. Seorang pemimpin tidak boleh menjilat ludah sendiri. Begitu terucap, ya, begitu jadinya. Nah, saya bahkan salut dengan Mas Amin, dengan komitmen beliau untuk tidak melangkah menjadi presiden saat itu, setelah terpilih menjadi Ketua MPR.

    ReplyDelete