31 December 2006

Iedul Adha 1427H

Allahu akbar
Allahu akbar
Allahu akbar
Laa ilaha illa Allah
Allahu akbar
Allahu akbar
Walillahil hamd

Alahamdulillah, akhirnya pada tahun ini, saya dapat melaksanakan sholat ied di STT Telkom. Kondisi hujan, menyebabkan sholat tidak dilaksanakan di lapangan depan gedung D, namun dilaksanakan di Masjid Syamsul Ulum.

Sholat yang dilaksanakan sekitar jam 06 lebih 15 menit, rasanya masih terlalu pagi, apalagi suasana gerimis, yang membuat dingin suhu udara dan membuat suasana semakin malas untuk berbuat.

Padahal hari raya ini, didasarkan atas ibrah Nabi Ibrahim AS, seorang nabi yang istimewa, yang telah teruji kemampuan dan juga kesabarannya, sehingga digolongkan ke dalam nabi Ulul Azmi.

Langkah-langkah beliau menjadi suri tauladan semua manusia yang ingin selamat dunia dan akhirat, kisah-kisahnya begitu memenuhi lubuk hati yang paling dalam, untuk terus mengikutinya, untuk terus membangun kesadaran diri, agar kita mampu selamat dunia akhirat.

Ketika muda, beliau telah membuat gempar, namun membuat orang-orang di sekelilingnya mengembangkan cara berfikir mereka. Dihancurkannya ratusan patung berhala dan ditinggalkan utuh satu saja, yang terbesar, dari yang lainnya. Masyarakatnya kaget, gempar, tergoncang, dan mereka pun sepakat untuk curiga hanya pada satu orang saja, yaitu Ibrahim, karena perilakunya yang tidak suka terhadap berhala-berhala.

Pengadilan kilat di hadapan langsung ratusan orang dan di depan patung nan kokoh, dan indah, teguh laksana tak mampu dirubuhkan, Ibrahim diadili. Di hadapan sekian banyak orang ada juga rasa gentar di hati Ibrahim (laksana Nabi Musa AS yang tergetar karena ahli sihir telah menjatuhkan ular-ular yang berbisa), namun Nabi Ibrahim bukan orang sembarangan, dengan ketenangannya beliau menyatakan: "Tanyakan pada patung yang besar ini!".

Ributlah khalayak ramai. Benar, patung ini demikian besar, demikian kokoh, tak mudah dihancurkan, namun dia tak dapat berbicara, bahkan untuk membela diripun tak sanggup dilakukannya, kalaulah dia tidak rubuh, bukan karena kesanggupannya membela diri, namun memang tidak dirubuhkan. Orang-orang berpikir, untuk apa menyembah sesuatu yang tak mampu memberi petunjuk? Untuk apa menyembah sesuatu yang tak mampu membela diri? Beberapa saat mereka terkesima dengan jawaban Nabi Ibrahim AS.

Terkesimaan itu dialami juga oleh para penguasa, namun para penguasa yang takut kehilangan jabatan, para penguasa yang takut kehilangan pengaruh, para penguasa yang takut harta kekayaan, telah menutupi dirinya dengan tabir, untuk memperoleh jawaban yang benar. Maka dengan bersegara mereka menyatakan: "Bakar Ibrahim! Dia telah menghancurkan sesembahan kita, dia tidak menghormati budaya dan adat istiadat kebiasaan nenek moyang kita!"

Tentunya kisah ini, bukan hanya sekedar membuat tertidur para anak-anak yang kesulitan tidur sehingga harus didongengin, tetapi lebih jauh dari itu, mestinya membawa kesadaran diri kita, agar kita tak menyembah, tidak tunduk pada benda-benda yang dikiranya mampu menyelamatkan diri kita di dunia dan akhirat. Mungkinkah kita telah melakukannya? Na'udzu billahi min dzalik!

Dikisahkan lain. Siti Hajar dan bayinya yang bernama Ismail, diantar oleh suami dan bapaknya, yaitu Ibrahim AS, ke suatu lembah yang suatu saat nanti akan berubah nama menjadi Mekkah. Saat itu, lembah ini tidak ada pohon-pohonan, yang ada hanya hamparan batu dan pasir belaka, panasnya pastilah menyengat di siang hari. Di tempat seperti inilah Ibrahim AS, hendak meninggalkan Istri kedua dan bayinya. Sungguh secara rasio, hal ini tidak masuk akal, mana tega seorang suami yang telah lama mengidamkan mempunyai generasi pelanjut, dan ketika telah berhasil mendapatkan anak, generasi pelanjutnya, kemudian istri dan bayinya ditinggalkan di tempat yang sedemikian gersang, tak ada teman, tak ada makanan? Manusia jenis apa ini? Kegundahan ini pun menggelayut juga pada pikiran istrinya, tak mampu pula sang istri menahan keheranan: "Wahai, suamiku Nabi Ibrahim yang aku sayangi, apakah Kakanda meninggalkan diriku dan bayiku di tempat yang seperti ini karena perintah Allah?". Nabi Ibrahim pun ada rasa tak sanggup melaksanakannya pula. Namun dengan ketegaran seorang Nabi yang telah terpilih, beliau menjawab: "Benar, ini adalah perintah Allah". Jawaban sang suami meneguhkan dirinya untuk bersegera mematuhinya.

Sungguh ketaatan kepada siapa lagi yang mesti diikuti? Jika bukan ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah? Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah, yang tak ada sekutu bagi-NYA, yang tak ada saingan bagi-NYA, yang tak ada yang menyerupai-NYA. Yang janji-NYA tak pernah diingkari-NYA, selalu tepat dan dipenuhi-NYA. Lantas, mengapa kita kadang kala enggan mengikuti perintah-NYA, dan menjauhi larangan-NYA?

Allah tempat bergantung segala makhluk, segala yang diciptakan, baik kebergantungan karena keterpaksaan, maupun kerelaan. Tak ada yang berkuasa secara hakiki kecuali hanya Beliau saja. Tak ada yang memiliki kejayaan yang hakiki kecuali hanya Beliau saja.

Karena itulah dengan rela hati Siti Hajar menerima keputusan ini. Keinginan untuk taat dan patuh, serta tunduk kepada-NYA saja, tak ada keinginan untuk menolaknya.

Pelaksanaan tugas, tentunya membawa konsekwensi. Tidak, tidak ada kemudahan yang bersegera ketika kita telah menyatakan hendak dan mau melaksanakan perintah Allah. Hadangan pertama mulai dirasakan Siti Hajar, tatkala air susunya sudah tak sanggup lagi mengurangi haus sang bayi. Menangislah sang bayi menuntut haknya, tangisnya begitu keras terdengar. Sang Ibu, bukanlah seorang wanita, yang lemah karena tangis, namun dengan bersegera tanggap atas keluhan sang bayi. Maka dilihatlah disekelilinginya, barangkali ada air yang dapat diminumkannya untuk sang bayi. Ooo di sana di bukit itu, bukit Shofa, tampak air beriak, larilah sang Ibu, namun ternyata air yang tampak di pandangan itu tak ada, ketika sampai di bukit. Maka kembali sang Ibu memandang sekeliling, wah, alhamdulillah sepanjang mata memandang di bukit Marwa terlihat riak air, demi sang anak yang telah kehausan, sang Ibu kembali berlari untuk mendapatkan air. Tujuh kali bolak-balik berlari dari satu bukit ke bukit yang lain, dalam rangka mendapatkan air bagi sang bayi yang menjadi tanggung jawabnya, dalam udara yang amat panas, membuat dirinya tak sanggup lagi. Maka mengalirlah air di lubang tanah yang terkena sentuh sang bayi, alhamdulillah, perjuangan untuk mengantarkan generasi penerus, pelanjut risalah, mendapatkan sedikit kemudahan, mata air ini, suatu saat diberi nama Air Zam-zam, mata air yang tak surut setelah kian ribu tahun, hingga hari ini, masih mengalirkan air dengan jernih dan nikmat, inilah kelebihan hasil dari derap langkah para pejuang di jalan Allah, menyenangkan dan menggembirakan semua pihak, baik yang kufur dengan malu-malu, kufur dengan terang-terangan maupun yang taat hanya kepada Allah semata-mata.

Tahun berganti tahun. Usia sang bayi telah menginjak 11 tahun, sang ayah datang berkunjung. Rasa sayang, rasa kangen, sang ayah, yang menginginkan generasi pelanjut, generasi penerusnya, sehingga mampu mendhohirkan din yang haq di seluruh muka bumi, ditumpahkan. Namun kembali perintah Allah mengumandang melalui mimpi seorang Nabi, yang pasti syaithan tak mampu memasukinya. Perintah itu tak tanggung-tanggung, yaitu: menyembelih pewaris dan pelanjut risalah. Allahu akbar!

Keraguan? Jelas ada, karenanya ditunggu sampai tiga kali, sehingga keyakinan sang Nabi mantap, dan tak ada lagi keraguan. Apakah sang anak yang telah menginjak remaja sanggup melaksanakan perintah ini?

"Wahai, Bapakku, ketika perintah Allah telah berkumandang, mana lagi yang sanggup menahannya, manalah mungkin saya mengingkarinya? Saya ingin selamat di dunia dan selamat di akhirat. Wahai, Ayahanda, laksanakanlah perintah Allah itu. Supaya Ayahanda tidak menghentikan perintah Allah, janganlah aku ditelentangkan, jangan pula dimiringkan, namun telungkupkanlah aku, sehingga wajahku tak terlihat oleh Ayahanda, kuatir hal itu akan menghalangi Ayahanda dalam melaksanakan perintah-NYA. Lantas tutuplah mulutku, sehingga suaraku tak keluar, yang akan menyebabkan Ayahanda menghentikan melaksanakan perintah-NYA. Dan ikatlah tangan dan kakiku dengan kuat, sehingga aku tak meronta yang menyebabkan Ayahanda urung melaksanakan perintah-NYA"

Keikhlasan seorang anak yang telah terdidik dengan sempurna, tak ada syirik di dalam dirinya, tak ada keraguan dalam melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla.

Lantas, dimanakah aku? Apakah aku bersegera melaksanakan perintah Allah, ataukah masih ada keraguan untuk melaksanakannya? Ya, Allah, bersihkanlah diriku dari sifat egois, dari sifat ingin dipuji dan dipuja, dari sifat angkuh (bukan karena perintah-MU), dari sifat selalu mengukur keberhasilan hanya dari bendawi, materialisme, sosialisme. Mudahkanlah kami dalam melaksanakan taat. 'Ati'ullaha, wa 'ati'u rasul, wa ulil amri minkum.

No comments:

Post a Comment