29 January 2007

Matematika di atas Daun

Sabtu ini, tanggal 27 Januari 2007, ada peristiwa yang saya hadiri (rencananya), yaitu: Sarasehan Tiga Pihak: Mahasiswa, Dosen dan Alumni Matematika ITB yang tergabung maupun tak tergabung dalam wadah yang dulu dan hingga sekarang bernama Himatika (Himpunan Mahasiswa Matematika) ITB. Sebuah wadah yang mempunyai yel-yel yang cukup menggetarkan hati, karena Himatika ingin jaya.

Ingin rasanya saya dapat hadir dengan waktu yang sesuai undangan panitia, yaitu mulai sekitar jam 13 sampai dengan jam 16 atau 17 dan dilanjut malam harinya. Namun apa daya kondisi badan tak sampai. Setelah sekeluarga (Diriku, Dua Anakku dan Istriku ditambah tetanggaku dan asistennya) pergi berobat di Cibaduyut, sampailah di rumah sekitar jam 12-an, ternyata badannya harus diistirahatkan terlebih dahulu, tidur. Istrku telah mencoba membangunkanku hingga tiga kali.

Akhirnya sekitar jam 15 aku mampu bangun, lemas rasanya, beberapa kali aku sms dengan temanku yang sering berfikir secara out of the box, bahwa sebaiknya Ketua Ikatan Alumni Matematika si Itu saja, namun temanku tadi menginginkan aku tetap hadir, bahkan ditunggu sama beliau.

Ya, di tempat mantan sekretariat LFM (Liga Film Mahasiswa) itulah aku akhirnya bertemu dengan teman-teman sejawatku, mantan para mahasiswa Matematika angkatan 86. Dia adalah: Maman si botak yang mempunyai kondisi badan masih tetap seperti saat kuliah dulu, hobbinya termasuk langka di Indonesia ini, yaitu Panjat Tebing, pernah dia jatuh hingga terpaksa menggendong tangannya beberapa hari (atau bulan) sambil kuliah yang setengah serius dan setengah tak serius. Saat itu dia seringkali berambut gondrong, dan sungguh jawaban dia yang membuat saya terhenyak: "Al-Ghozali pun berambut gondrong!".

Maman saat ini menjadi Presiden (Sekjen? aku agak lupa) Federasi Panjat Tebing Indonesia, membuat salah satu jalur panjat tebing di Citatah yang mempunyai kesulitan amat tinggi, yang orang awam jika melihat jalur tersebut akan terperanjat, ah, mana mungkin dipanjat! jalur tersebut diberi nama jalur Duloh!

Berikutnya Sucipto, orang keturunan Madura yang berasal dari Malang, dia orang yang sedikit kaku, pernah ikutan marching band, badannya tegap (pantas untuk bermain marching band), saat ini dia kerja di sekuritas, perusahaan pialang saham, setelah sebelumnya masuk juga ke jajaran penerbangan di Indonesia yang baru berdiri mengingati kasus beramai-ramainya orang-orang yang mempunyai modal untuk membangun maskapai penerbangan. Badannya sudah agak berkembang.

Dondi, asal Rumbai, Kepulauan Riau. Gaya biacaranya seperti kebiasaan orang seberang, suara yang terdengar agak dikulum, bagiku kurang jelas. Perawakannya hanya berubah sedikit dari yang dulu. Pengalaman kerjanya sungguh amat berharga, jatuh bangunnya dalam meraih kehidupan perekonomian begitu menarik hati. Pernah kerja di perusahaan yang saat ini pemiliknya menjadi menteri, yang terkenal dengan lambang bintangnya. Di perusahaan ini sempat merasa mapan bekerja, namun ketika krisis moneter di Indonesia, terjadilah kejadian yang sangat mengharukan, perusahaan kolaps, dan terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja termasuk Dondi. Kegoncangan itu membuat dirinya sempat limbung dalam perjalanan pulang dari kantor ke rumahnya, namun kesadaran yang pelan-pelan tumbuh kembali bahwa Yang Maha Pemberi Rejeki tak akan melupakannya, membuat dirinya kembali tegar dan kokoh dalam menghadapi hidup ini. Dia bekerja di sekuritas. Dan sudah mulai enjoy bekerja di bidang ini, terbukti bisa menarik Cipto untuk bekerja di bidang ini.

Satu lagi yang saya temui dalam kesempatan ini adalah Arif MA'87, angkatan yang satu tahun lebih muda daripada diriku. Wajahnya yang cukup membuat para wanita kagum, memang gaya bicaranya amat santun. Rasanya sejak dulu masih seperti yang dulu, santun, agak mendekati gaya bicara kaum wanita. Pernah ikutan di STEMA (kelompok teater mahasiswa ITB), bekerja di PT Dirgantara Indonesia, perusahaan industri penerbangan di Indonesia yang saat ini terasa banyak masalah, karena PHK besar-besaran yang dilakukannya, karena para ekonom (yang menguasai peri kehidupan di negeri ini) tak menginginkan negara Indonesia mempunyai kemampuan di bidang yang tak menghasilkan dana dengan cukup, padahal tonggak sumber daya manusia untuk mengejar teknologi tinggi berasal dari perusahaan ini. Masih banyak perkerjaan yang dapat dikerjakan di perusahaan ini, namun tinggal orang-orangnya saja yang memandang: ini kewajiban atau tidak.

Memang saya hadir bukan dalam forum resmi yang diadakan oleh panitia, acara resminya sudah selesai yang akan dilanjut pada malam harinya, yaitu Ramah Tamah dalam bentuk yang kuduga akan ada pemilihan Ketua Ikatan Alumni Matematika ITB, namun entahlah aku belum tahu. Saat ini Ketua Ikatan Alumni Matematika ITB adalah dari angkatanku,
karena saat itu yang hadir terbanyak dari MA'86, jadi pantaslah jika Ketuanya dari angkatanku. Entah pada malam tanggal 27 itu, apakah terjadi pergantian atau tidak.

Di sekitar sekretariat LFM itulah dengan gayeng, kami ngobrol sambil menunggu Dondi mengobrol dengan Arif. Berbagai topik dibicarakan mulai dari Keprihatinan ITB terhadap lulusannya, hingga pekerjaan, dan tak lupa masa lalu yang penuh dengan keceriaan, keprihatinan, dan masa depan yang hendak diraih. Orang-orang yang hadir dalam kesempatan itupun sempat dibicarakan pula Isa (MA'85) yang menjadi salah satu Direktur di Departemen Keuangan, Desimon yang menjadi Direktur di TriMegah sekuritas, Yusman yang teman seangkatan dengan Isa dengan posisi jabatan yang jauh
tertinggal dengan Isa, dan saat kuliah lebih sering bertemu dengan angkatan '86. Sendang Drajat dan wow banyak lagi.

Ternyata alumni Matemtika telah tersebar begitu luas, bukan hanya dalam satu bidang pekerjaan saja, banyak diantaranya yang bekerja di Bank, di Perminyakan, di Saham, dosen, Industri manufaktur Penerbangan, dan lainnya.

Bicara kondisi Aceh saat tsunami yang membuat banyak orang tercengang, begitu banyak mayat, begitu banyak yang harus dibantu. Nah Maman inilah yang terjun langsung di Aceh, dia yang hanya membawa dua orang dokter dan sedikit obat-obatan tidak berani mengaku membawa dua hal itu. Dengan kemampuan membuka wacana out of the box-lah, berfikir di luar kotak yang sudah pakem, dia membuka diri. Nggak mungkin dia membantu masyarakat yang demikian banyak untuk dibantu dengan dua orang dokter dan sedikit obat-obatan, bisa-bisa dia akan dikerubungi oleh demikian banyak orang
dan mungkin sekali dia akan dikeroyok, bahkan mungkin sekali akan menyebabkan bencana baru bagi dirinya.Kemampuan berfikir di luar jalur itulah, yang membawanya ide untuk menemukan ide baru: apa yang dapat dilakukan oleh segelintir orang ini dengan sediki peralatan dan bantuan yang ada?

Sesaat merenung, sesaat berfikir apa yang mesti dilakukannya? Ide itu timbul dan muncul dengan gempita: pendataan! Maka dilakukan ide tersebut, dia dan hanya dalam hitungan jari orang yang bersama rombongannya, melakukan tugas pendataan yang belum dilakukan saat itu. Dia data orang-orang yang butuh bantuan dan apa jenis bantuan yang diperlukannya. Saat itu, ide ini tidak ada yang mengerjakannya.

Dalam kesempatan obrolan ini, muncul perbincangan tentang perubahan yang dilakukan ITB dalam penerimaan mahasiswa baru, mungkin setelah melihat Perguruan Tinggi lain. Dengan lebih mengedepankan Fakultas dan Sekolah, saat penerimaan, maka mahasiswa dikelompokkan pertama kali didalamnya. Tentunya ini memudahkan dalam rangka memberi bekal bagi mahasiswa baru yang tergabung dalam tahap pertama. Mahasiswa baru yang diberi bekal berdasarkan Fakultas atau Sekolahnya. Setelah setahun, barulah mahasiswa dimasukkan kedalam Departemen, dan persaingan pun akan muncul, untuk kasus Fakultas MIPA yang terdiri dari Departemen Matematika, Fisika, Kimia dan Astronomi terdapat 330 orang mahasiswa dan 130 memilih Departemen Matematika, sehingga kuota Departemen Matematika terpaksa dinaikkan menjadi 100 orang (dulu biasanya hanya 50-60 orang), artinya pula peminat di bidang Matematika yang terkenal rumit, sulit, tegas, hitam putih, semakin banyak dan menarik. Sebuah fenomena baru, orang Indonesia sebagian mulai tertarik dengan sesuatu yang bersifat kaku dan logis.

Dengan demikian, apakah STT Telkom yang Perguruan Tinggi Swasta berani mengambil langkah untuk membuka Departemen ini? Mengingat teknologi telekomunikasi begitu kental dengan Matematika, dan Statistik? Sebuah sokongan yang kuat untuk mengembangkan teknologi telekomunikasi. Bagaimana Departemen Sains STT Telkom? Siapkah untuk membuka Program Studi baru dengan basis Matematika dan Statistik? Ingatlah, saat ini masyarakat sudah berubah cara pandangnya. Lihatlah fenomena yang muncul di perguruan tinggi tetangga kita.

1 comment:

  1. mud, elho bisa aja kasih gambaran yg rada dramatis ttg gw..

    iya, masak biz di telko matematikanya cemen? kenapa singtel bisa nguasain telco kita? ya krn matematika singaporean nomor satu di dunia!

    yg bener gw dari 1996-2008 ini masih president federasi panjat tebing asia tenggara www.seacf.org..

    gut lak por yu..

    ReplyDelete