22 January 2007

Keprihatinan ITB

Hari Minggu kemarin, 21/01/007, sekitar jam 9 sampai dengan 13, saya menyempatkan diri hadir dalam ngariung gelar tikar bersama para dedengkot yang dulu ketika masih mahasiswa mampu menghasilkan karya yang salah satunya bernama Gamais ITB (keluarGA MAhasiswa ISlam ITB). Kegiatan ini dalam rangka syukuran atas kembalinya Saudara Putut Wijanarko (ITB’83) yang saat itu dan sekarang bekerja di Mizan, setelah melanglang buana di negeri Paman Sam, menempuh pencarian ilmu di bidang Media dalam tingkat PhD. Hadir saat itu orang-orang yang sudah cukup berumur dalam pandangan saya, karena yang hadir angkatan ’82 dan ’83, saya yang ’86 masih merasa muda.

Dalam obrolan di De'QUR yang gayeng dan penuh canda tawa, hina-menghina, jatuh-menjatuhkan, dll, ternyata terkuak pula informasi yang membuat saya miris.

1. Sebuah perusahaan meminta tolong ke ITB untuk mendapatkan tenaga kerja.
Namun dari seratusan yang mengajukan lamaran ternyata tak ada satupun yang lolos seleksi.

Apakah karena nilai akademik yang rendah? Bukan! Nilai akademik yang mengajukan lamaran sudah dipastikan minimal 3,00!

Apakah karena terlambat lulus? Bukan! Karena yang terlambat lulus umumnya sudah bekerja duluan sehingga tak mau lagi melakukan lamaran pekerjaan.

Ternyata yang tidak lulus, bukan dalam hal kemampuan hardskill, namun dalam kemampuan softskill. Kemampuan menyampaikan ide, kemampuan mendengar pertanyaan, kemampuan menjawab pertanyaan, kemampuan menalar dari masalah yang disampaikan dan pelamar menjawab dengan runutan yg telah terpatri sebelumnya.

2. Di cerita lain dalam obrolan di De’qur tadi, seseorang yang menjadi proyektor (ahli mendapatkan proyek) memberikan tawaran kepada mahasiswa ITB untuk mengerjakan proyek tersebut (maaf saat ngobrol itu tidak diungkapkan apa nama proyeknya). Beliau (si pemilik proyek) memberikan waktu satu bulan untuk menyelesaikan dua proyek tersebut. Ternyata sang mahasiswa ITB, sanggupnya tiga bulan, namun apa yang terjadi ketika ditawarkan ke mahasiswa ITHB? Mereka berhasil menyelesaikan dalam waktu dua minggu dan bukan hanya dua proyek, namun 10-an proyek. (Catatan: angka-angka ini tidak persis seperti yang diomongkan kemarin, namun sebagai gambaran saja, banyak dan sedikit saja).

3. Bahkan muncul statement alumni D3 Unpad lebih baik (lebih bisa dipercaya) dibanding lulusan ITB. STT Telkom pun sudah mengalami pula kondisi yang demikian ini. Apakah dapat dipercaya, karena faktor loyalitas? Ataukah kondisi masyarakat Indonesia yang sudah demikian terasuki nilai-nilai uang (materialistis)?

Evaluasi yang sempat terucap adalah dorongan untuk terus mempercepat masa studi, mendorong mereka tidak mampu mengembangkan kemampuan di luar yang tercantum dalam kurikulum. Karenanya ide yang coba dikembangkan oleh tim kurikulum ITB adalah membuat kurikulum ekstrakurikuler.

Dari sisi saya, ada kekwatiran jika kurikulum ekstrakuler dibuat rigid dan kaku akan membuat fleksibilitas yang mestinya muncul dalam kegiatan ekstrakurikuler akan hilang, sehingga semangat hidup, semangat berkompetisi, semangat bekerjasama, semangat saling menolong, semangat untuk berkomitmen, semangat loyal, dll yang dapat diperoleh dari kegiatan ekstrakurikuler, bisa muncul.

Kami (yah bisa disebut sebagai pendiri Gamais, walaupun yang hadir ternyata tak semua hadir saat deklarasi Gamais di BLK Lembang) pernah membangun sebuah LSM (beberapa tahun kemudian LSM sangat trend, saat kami sih biasa-biasa saja) yang bernama Megabit, mencoba untuk membangun/ membangkitkan kembali wadah ini. Di Megabit kami ada yang berkecimpung di bidang tulis-menulis, seperti Putut yang menjadi direktur di Mizan, ada juga bermain dalam bidang Latihan Kepemimpinan dan Organisasi. Semoga torehan Megabit dapat membangkitkan kembali semangat untuk mencari kesucian hati, tak dirundung dengan malang oleh kondisi masyarakat yang memang semakin matrialistis.

Mestinya sebagai penghasil lulusan yang sudah mulai diterima masyarakat, STT Telkom pun harus berbuat sesuatu yang sehingga lulusan dapat 'dijual' dengan baik, harga yang tinggi, mempunyai komitmen untuk memajukan bangsa sendiri, sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang dulunya belajar dari kita, dan saat ini telah jauh meninggalkan kita. Apa yang diperbuat?

8 comments:

  1. wah.. turut prihatin sekali pak.
    tapi kalau fenomena seperti itu sepertinya tidak hanya di itb saja.
    jadi ya.. harap maklum (sense-nya orang pesimis. ha..ha..)

    ReplyDelete
  2. Setelah pertemuan di De'Qur saya ketemu dengan teman-teman yang memanfaatkan alumni STT Telkom mereka cukup puas. Beberapa memang merasa menjadi Perguruan Tinggi kedua setelah STT Telkom, artinya alumni STT Telkom bersegera keluar begitu mendapat tawaran yang lebih menarik.

    ReplyDelete
  3. pak, nostalgia...
    sulit juga lho pak mencari yang seperti itu dikampus manapun (contohnya dibandung), krn saya jg kadang berinteraksi dengan mhs lain dikampus lain...
    saya jg blon tau hrs apa,
    mungkin sebagai masukan, budaya kampus saat ini menurut saya sudah berbeda dengan zaman bpk dulu, sekarang lebih banyak mhs dan pengajar yang study oriented, so, pikirannya cuma untuk kerja-kerja-kerja, kalo gitu terus siapa yang buka kerja?

    ReplyDelete
  4. terlalu pragmatis kalo kita langsung men-judge kawan2 di universitas tertentu. Termasuk untuk di kampus STT Telkom.
    Buka wawasan untuk bidang2 diluar core kita merupakan pilihan yang bijak. Intinya..jangan pernah nutup mata dengan lingkungan sekitar

    ReplyDelete
  5. Saya pikir masukan dalam kegiatan Executive Gathering terus ditindaklanjuti. Jangan sampai, masukan hanya sekedar omong-omong setelah itu bubar.

    ReplyDelete
  6. Yang bercerita tentang kasus ITB adalah staff ahli rektor (namanya Bapak Edwan).

    ReplyDelete
  7. perlunya organisasi, posting diforum ... ramaikan forum diskusi (walau ngejunk dan spam) tiada masalah yang penting bisa menyampaikan pendapat via ketikan ... bikin blog, baca blog dan meninggalkan comment ... juga tak kalah penting ....

    jangan pesimis .. yang muda yang berprestasi ...

    ReplyDelete
  8. Salah satu cara berkomunikasi memang nulis blog. Ha ha ha ...

    ReplyDelete