24 April 2008

Hidup Hissi

Kerja adalah segala macam kegiatan yang dilakukan dalam upaya membangun diri, keluarga dan masyarakat. Segala hasil karya yang muncul akibat kata 'kerja' ini mestinya memberikan nilai positif bagi hidup dan kehidupan manusia. Kerja dilakukan, umumnya, menyita sebagian besar waktu yang dilakukan di tempat yang bernama Tempat Kerja. Dimana tempat ayah bekerja? Di kantor! Kantor yang mana? IT Telkom! Ini adalah contoh-contoh Tempat Kerja atau istilah yang mudah dipahami hampir setiap orang adalah kantor.

Kantor adalah tempat aktifitas yang menyita waktu paling banyak. Seseorang dapat bekerja/ mengerjakan sesuatu di kantor dari jam 7 hingga jam 17 (8-10 jam sehari), dan di atas jam 17 biasa disebut lembur. Selama 2-4 jam dipakai untuk perjalanan. Di kantor ini pula sering terjadi intrik-intrik untuk mengeluarkan seseorang dari posisi tertentu, jabatan tertentu.

Dalam hidup seseorang, peran seorang lelaki, yaitu kegiatan di masyarakat dapat berbentuk berbagai kegiatan atau aktifitas, selain aktifitas di kantor utama, seseorang bisa menambah kegiatan di kemasyarakatan, misalnya di RT/ RW, perkumpulan sosial/ kajian, organisasi nirlaba, partai politik, usaha sampingan selain kantor utama, dll. Ada yang merasa pendapatan yang diperoleh dari kantor masih terasa kurang, yang berakibat akan membuka usaha sampingan, ada pula yang merasa sudah cukup, sehingga aktifitas pada hari di luar hari dan jam kerja dipakai untuk kegiatan sosial kemasyarakatan.

Dengan berbagai macam aktifitas ini, akan membuat seseorang serasa hidup, namun ada yang menyatakan hidupnya adalah hidup hissi, hidup yang sebenarnya tidak hidup. Penuh aktifitas, penuh kegiatan, penuh stress, namun tak bermakna apa-apa. Lho tetapi 'tidak bermakna apa-apa' apakah dalam makna tidak ada kekayaan yang dipunyainya? Ataukah karena tidak ada visi yang ingin diraih? Bukan! Bukan begitu maksudnya! Namun hidup hissi adalah mungkin orang tersebut bergerak dengan satu visi, namun visinya tidak jelas, tidak membawa kepada keselamatan diri, keluarga dan masyarakatnya.

Hidup Hissi boleh jadi hidup yang santai, tetapi boleh jadi pula hidup yang penuh dengan kegiatan, sampai tak mampu di-manage dengan baik, sampai muntah-muntah (istilah agak kasarnya), atau boleh jadi penuh dengan upaya yang sepertinya menuju pada kesehatan, atau teratur dari jadwal ke jadwal, atau seperti tak ada aktifitas. Intinya bukan pada pemanfaatan waktu semata, bukan pada bentuk fisik semata, tetapi lebih jauh dari itu. Bukan santai, bukan teratur, bukan pula tergesa-gesa, bukan pula tak teratur dengan baik.

Hidup hissi, bisa dalam berbagai bentuk, mulai yang santai (tak ada yang menekan, tak ada yang menyuruh, tak ada yang memerintah, dll yang sejenis), sampai dengan jadwal yang begitu ketat dan padat. Hidup hissi adalah hidup yang bervisi salah! Inilah intinya.

Lho, dalam ilmu manajemen yang namanya visi-misi, tidak ada istilah benar dan salah. Kok sekarang mengatakan yang demikian ini? Ya, dan benar apa yang aku katakan! Dalam ilmu manajemen yang disebut visi dan misi tidak ada kata salah, yang ada adalah kurang lengkap, kurang menuju masa depan, atau kurang elit, kurang canggih, dst. Yang penting visi-misi harus dapat diturunkan ke bentuk yang lebih riil, untuk dijalankan dalam bentuk program kegiatan yang terarah berdasarkan visi-misi, terukur (ukuran jelas, dan dapat dibedakan sesuai visi-misi atau tidak), berbatas waktu (tahun sekarang apa yang hendak diraih, tahun depan apa yang akan dicapai). Maka ilmu manajemen yang demikian, memang sengaja dikaburkan, sehingga tak ada kata salah atau benar. Semua sengaja dibuat kabur, remang-remang, tanpa tolak ukur yang benar.

Namun boleh jadi beberapa pihak akan mengatakan: "Lho, ada visi-misi yang salah", bukan karena dengan menggunakan ukuran yang benar, namun digunakan ukuran nafsu diri. Visi-misi dianggap salah karena tidak sesuai dengan visi-misi kapitalis, tidak sesuai dengan visi-misi komunis, tidak sesuai dengan visi-misi sosialis, intinya tidak sesuai dengan materialis ataupun bahkan visi-misi dianggap salah karena tidak sesuai dengan visi-misi non materialis.

Mestinya tidak ada yang perlu di-dekotomisasi-kan antara materialis dan non materialis. Lho, lantas apa kesalahan dari hidup hissi? Nanti suatu saat akan dilanjutkan...

Lanjutan... Visi-misi yang benar adalah visi-misi yang telah digariskan oleh Yang Maha. Masalahnya Yang Maha itu bermacam-macam, Pak! Ada Yang Maha Kuasa, ada Yang Maha Pandai, ada Yang Maha Pengampun, Yang Maha Adil, dll. Nah, Yang Maha pada kalimat yang kedua dari paragraf ini bermaksud Yang Maha Segalanya, yaitu memiliki 99 nama, yang Sifatnya sempurna tanpa cela sedikitpun, bukan Yang Maha hanya pada satu bidang saja atau beberapa bidang saja, melainkan Yang Maha Segalanya.

Berarti kita harus merunut, siapa yang mempunyai kemampuan Yang Maha Segalanya ini. Nggak mungkin Yang Maha Segalanya ini ada dua! Mengapa? Jika ada dua maka Yang Maha Segalanya yang satu tidak lagi menjadi Yang Maha Segalanya, karena ada yang kedua. Jadi, Yang Maha Segalanya harus tunggal, harus Esa, tidak berbilang, unik, dst.

Jelas pula Yang Maha Segalanya harus berbeda dengan yang bukan Yang Maha Segalanya. Maka ada istilah makhluk (yang dicipta), ada istilah Khaliq (Pencipta). Nah, sang Khaliq inilah Yang Maha Segalanya.

Kita harus meyakini akan adanya Yang Maha Segalanya, tetapi tidak cukup dengan meyakini saja. Harus diteruskan berarti kita harus ta'at terhadap Yang Maha Segalanya. Jika kita tidak mau ta'at dan patuh pada Yang Maha Segalanya, lantas untuk apa hidup dan kehidupan ini. Keyakinan itu harus wujud, harus aplikatif, tidak boleh hanya sekedar konsep yang tak membumi, tidak boleh hanya sekedar diangan-angan saja, harus bukti dan dijalani. Bukan seperti menyembah hantu.

Disinilah visi-misi diletakkan dan disesuaikan. Jauh ke depan, visi-misi adalah meraih kehidupan di dunia dan di akhirat yang sesuai dengan aturan dan tuntunan dari Yang Maha Segalanya. Sedangkan visi-misi dalam waktu dekat tentunya adalah terwujudnya masyarakat (tentunya termasuk diri sendiri) yang patuh dan ta'at pada Yang Maha Segalanya. Secara kewilayahan, dalam jangka waktu dekat, mulai dari diri, keluarga (rumah tangga), teman-teman sevisi-misi, sekumpulan masyarakat, mungkin kecamatan, kabupaten, propinsi, negara, dan terakhir dunia (yang dalam bahasa dari Yang Maha Segalanya, adalah rahmatan lil 'alamin).

Pertanyaannya adalah apakah hidup kita masih hidup hissi, hidup yang belum mengikuti visi-misi dari Yang Maha Segalanya? Jika masih hidup hissi, sekalipun hidup kita terasa santai, tak ada beban, atau sebaliknya hidup kita sibuk, hampir tak ada waktu untuk istirahat, maka hidup yang demikian ini, tetap saja di mata para cerdik pandai dan juga bagi Yang Maha Segalanya, hidup yang demikian ini adalah diam, mati, tak ada guna. Sia-sialah hidup hissi itu. Na'udzubillahi min dzalik.

2 comments:

  1. Kalau kita tahu ilmunya dan mau mengikutinya, maka menjadi mudahlah semua urusan ini. Pertama yang harus diyakini: apa-apa yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Membuat Aturan pastilah cocok untuk manusia. Jadi, masalah utama adalah pada diri masing-masing manusianya

    ReplyDelete