24 March 2008

Laporan SPT

Waktu yang mepet, jam 7-9 badminton, jam 9-10 menunggu keringat kering dan mandi, jam 10-12 rapat sosialisasi Perubahan STT Telkom menjadi IT Telkom. Diantara rapat ini saya harus bisa melarikan diri ke kantor Pelayanan Pajak.

Telah beberapa hari (lebih dari dua bulan) aku dapatkan surat dari Pelayanan Pajak, agar aku segera membuat laporan SPT. Membaca buku petunjuknya, aku pusing, banyak istilah yang membuat aku bingung, susah diapresiasi, apa maksudnya. Saat rapat itulah, ada yang berbisik mengajari, kalau susah langsung saja datang ke Kantor Pelayanan Pajak, supaya mendapat penjelasan yang lebih valid.

Persiapan telah aku lakukan, karena aku pernah melihat dan mendengar para Wajib Pajak yang sudah biasa bagi pegawai STT Telkom, yaitu untuk mendapatkan data penghasilan bisa didapat dari BAU (Bagian Administrasi Umum), dalam hal ini bisa minta ke juru bayar STT Telkom.

Karena itulah jam 11 aku memaksakan diri untuk pergi (lebih tepatnya melarikan diri dari rapat). Alamat yang tertera di amplop cukup sederhana saja, Kantor Pelayanan Pajak wilayah Majalaya, jl. Peta no 7 Bandung, tanpa nomor telpon atau identitas yang lain. Alamat ini sulit juga ditemukan, dari perempatan Moh Toha dan Lingkar Selatan, ketemu Musium Sribaduga, langsung ketemu alamat Peta no 9, karena cuaca hujan, aku terlewat no 7. Terpaksalah mencari putaran, didekat jalan yang menuju terminal Leuwi Panjang aku memutar. Balik sampai perempatan Moh Toha. Kembali dicari no 7, nggak ketemu sampai harus nanya ke tukang becak, ternyata no 7 memang ada dua, yang satu lagi dari arah Pasirkoja, yang berarti dekat Pasar Burung.

Tergopoh-gopoh sampai pula aku, sekitar jam 12.15. Masih gemetar karena agak ngebut. Bingung masuk ruangan, karena tidak ada papan petunjuk: harus kemana kaki melangkah. Dengan bingung tanya ke Satpam yang ada. Ditunjukkan ke bagian informasi. Penjelasan dari bagian informasi, rasanya cukup jelas, aku harus memindahkan data yang aku peroleh dari BAU ke form yang telah aku terima. Pindah tempat duduk. Aku isi form. Baru beberapa fill in seorang satpam datang: "Pak, tempat parkir mobil Bapak, adalah tempat parkir untuk Kepala, mohon Bapak memindahkan mobil Bapak". Walah, tulisan yang mengatakan tidak boleh parkir, tidak ada, kok sekarang diusir. "Ya, Pak, sebentar" Aku berkemas membereskan data-data yang telah aku keluarkan untuk mengisi form. Cukup berantakan juga tempat aku menulis, padahal ketika aku mau menulis pun harus mencari kursi terlebih dahulu. Sekarang diminta (diusir untuk memindahkan). Agak jengkel juga aku.

Beberes selesai, aku lihat jam sudah 12.30. Padahal jam 13 ada sidang Tugas Akhir, yah, sudah aku sekalian ngacir balik ke kampus. Nggak aku selesaikan acara melaporkan SPT.

Aku ingat iklan perpajakan: "Melaporkan SPT sulit? Tidak juga!" Memang sulit.

Antara jengkel dan senang, aku balik ke kantor. Jalanan sudah terasa tidak nikmatnya. Angkot 05 yang berwarna merah (sebagian besar sama orang Batak, sopirnya) berhenti sembarangan memakan badan jalan. Perempatan Leuwi Panjang-Soekarno yang mestinya ada tiga lajur, berubah hanya satu jalur. Dan rasanya memang seperti itulah kebiasaannya, jalan dibuat sempit sehingga penumpang angkot bisa berjalan.

Wuah, lebih parah lagi perempatan Moh Toha-Soekarno Hatta, sudah terang-terangan angkot 05 yang berwarna merah walaupun lampu berwarna hijau, mereka berhenti di lajur ketiga dari kanan, gila! Mungkin polisi kurang jumlah dalam hal ini.

Masuk ke jalan Moh Toha, sudah dihadang dengan kemacetan yang tak jelas juntrungannya akibat angkot yang berhenti sembarangan, jalan yang rusak antara ruas STT Telkom dan gerbang tol. Padahal jalanan sepertinya habis dibeton. Mulut gang menuju STT Telkom pun diblok oleh angkot, padahal sudah berkali-kali aku bunyikan klakson, tetap dengan tenang saja, sang sopir memarkir angkotnya, tepat menunggu gang. Sialan!

Inilah kehidupan perpajakan di Indonesia, besarnya pajak yang dikenakan tidak kecil, minimal 10%, itupun dengan bermacam jenis, ada PPh, PPN, PPNBM, ada PBB, dll. Kok bisa nyebut 10% tidak kecil? Ya, lah, wong diIslam yang disebut pajak, mungkin mirip dengan zakat, memang di zakat pun bermacam jenis, namun tidak kan ada yang 2,5%, dan jika sudah diambil zakat tidak ada zakat yang lain. Dengan zakat itulah negara diurus. Wuiih luar biasa, dengan hanya 2,5% sampai dengan 10% (zakat untuk petani yang tanpa mengeluarkan modal, airnya pakai air hujan), memang ada yang lebih besar yaitu zakat barang temuan 20%, tetapi kan benar-benar barang temuan.

Mestinya seluruh warga Indonesia malu mempunyai negara yang demikian banyak mengambil dari warganya. Coba dengan kekurangan polisi, terpaksa walaupun kita telah membayar PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) tetap saja jalanan masih rusak, setelah itu dengan pengaturan yang nggak jelas membuat jalanan macet, terpaksa deh kita harus membayar ke Pak Cepek (ongkos lagi..) begitupun kalau jalanan rusak Pak Cepek dengan berpura-pura menutup lubang jalan juga mengedarkan tempat untuk diisi uang. Berapa kali kita keluar dana?

Memang sih ... ada pamlet sekarang dimana-mana... Bayar Pajaknya, Awasi Penggunaannya ... Gimana cara mengawasi penggunaan pajak, jika kita nggak tahu berapa yang diterima dan berapa yang disetorkan dalam wujud faslitas yang memadai: sarana jalan, penerangan (bahkan ada pajak untuk penerangan jalan, kemana untuk kota Bandung?), pertambahan panjang jalan, dll.

Mestinya saya malu ya... punya negara nggak jelas begini?

3 comments:

  1. Udah bayar PPh (dipotong langsung dari si pemberi gaji), bayar PPN (setiap kali jajan di warung/resto/kafe), bayar PBB, masih harus repot lapor. Apa kata Bonagaaaa hahaha....

    *Boleh tukeran link ya mas..thx*

    ReplyDelete
  2. jadi berapa banyak yg harus dibayar?

    ReplyDelete
  3. yah... pak!! begitulah indonesia... saya bingung harus pilih yang mana "Aku Bangga Jadi Anak Indonesia" atau "Aku Malu jadi Warga Negara Indonesia"..

    hahahahahaaha

    ReplyDelete