STT Telkom sebuah perguruan tinggi swasta yang menjadi terkenal sebagai penggagas tuan rumah Pimnas dari PTS. Sebelumnya tidak pernah PTS menjadi tuan rumah PIMNAS. Alhamdulillah, setelah STT Telkom menjadi tuan rumah PIMNAS, maka sejak itu tuan rumah PIMNAS ditentukan secara bergantian. Tahun ini diselenggarakan di Kampus Universitas Lampung (UNILA), sebuah PTN, maka tahun depan akan dilaksanakan di PTS.
Keberangkatan ke Lampung dalam rangka mendampingi kelompok mahasiswa yang lolos dalam kegiatan PKM, memang dimulai dengan kesedihan demi kesedihan, ketidaksetujuan demi kedongkolan.
Awal keputusan Dikti untuk menentukan kelompok yang lolos ke tingkat PIMNAS sudah mengalami ketidakenakkan bagi kontingen STT Telkom, bayangkan ketika ada monitoring dan evaluasi dari Juri Dikti, dinyatakan ada 6 kelompok yang layak untuk mengajukan Paten, ternyata dari 11 kelompok hanya 2 kelompok yang lolos ke PIMNAS di Lampung, ditambah satu untuk PKMI.
Ditambah lagi dengan masalah yang diungkapkan dalam tulisan sebelumnya yang berjudul: Ketaatan pada Aturan.
Perjalanan yang dinyatakan akan berangkat Selasa jam 04 subuh ternyata berangkast Selasa jam 5.45.
Perjalanan dari Bandung sampai dengan Merak lancar-lancar saja, bahkan macet yang biasa terjadi sebelum gerbang Pondok Gede Timur, tidak terjadi, ada sedikit macet hanya begitu masuk gerbang tol Kota.
Dari Merak naik ferry, saya pikir ferry cukup bergoncangan, ternyata tidak terjadi rasanya tidak ada gelombang. Lancar... dan nyaman...
Begitu mulai dari pelabuhan Bakauheni, saya pikir Lampung datar-datar saja yang dekat dengan pantai, ternyata begitu keluar dari pelabuhan langsung disambut oleh tanjakan yang terpaksa dijalani dengan pelan, akibat di depan ada truk yang mengangkut barang yan berat.
Jauh juga jarak antara pelabuhan Bakauheni dan Kampus Unila. Apalagi dengan diperlambat oleh truk-truk besar yang berjalan lambat.
Hotel yang cukup manis, bagiku. Tempat menginap yang dipilih oleh kawan-kawan dari Bagian Kemahasiswaan. Berada di tengah kota. Tanda tengah kota bisa dilihat dari beradanya hotel tersebut di dekat pasar kota. Kecil kapasitasnya, tetapi manis bentuknya.
Begitu sampai kamar, langsung mandi dan minta diinjak-injak oleh anakku, langsung tertidur pulas. Bangun gara-gara telpon berdering.
Makan malam ini menjadi masalah tersendiri bagiku, operasi gigi bungsu belum sembuh benar, dan saat itu aku makan dengan rendang yang cukup keras.
Malamnya aku begadang untuk menyelesaikan proposal Jambore IT yang sudah dijanjikan saat penandatanganan kontrak PKM antara STT Telkom dan Dikti. Keinginan untuk memberi warna tak kesampaian akibat printernya hanya laserjet yang hitam-putih. Sedangkan keinginan untuk membuat logo terpaksa dihentikan karena waktu yang sudah amat mepet. Proposal ini memang ingin dimiliki oleh Dikti cq Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, dan pertama kali diadakan di STT Telkom dan disambungkan dengan hari kelahiran STT Telkom. Ada sekian banyak kegiatan dalam proposal ini, ada lomba yang harus dibuatkan terlebih dahulu analisis dan desainnya, hingga lomba yang dapat dilakukan langsung secara mendadak di tempat, namun ada juga yang berbentuk pelatihan, seminar dan workshop.
Penyelesaian proposal berhasil disampaikan kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat saat Sarasehan Pembantu Rektor/ Ketua/ Direktur Bidang Kemahasiswaan. Dan diterima baik dan terbuka, mengingat PIMNAS load-nya sudah begitu banyak. Sehingga pemecahan PIMNAS boleh jadi menjadi salah satu solusi.
Balik tak mampu saya menemani mahasiswa, sakit gigi yang cukup berat, menyebabkan kami harus balik duluan.
Mau naik pesawat harganya antara 280ribu sampai dengan 490 ribu saya sudah siap dana, ternyata tiket habis. Alternatif lain, naik bis Patas dengan biaya Rp180ribu, namun dari yang jaga tiket aku nggak begitu percaya. Sehingga kau pilih: naik bis dari terminal Rajabasa ke Bakauheni Rp20ribu, naik ferry Rp10ribu ditambah kelas 2 sebesar Rp4ribu, naik bis Arimbi ke Leuwi Panjang sebesar Rp45ribu, kemudian sampai di Leuwi Panjang sudah mencanangkan untuk naik biskota sampai Cicaheum sebesar Rp2,5ribu, naik angkot ke Cijambe Rp2,5ribu, dan Ojek sebesar Rp2ribu. Namun istriku menelpon: "Janganlah, Pak, capek, naik taksi saja". Akhirnya aku naik taksi dengan argo sebesar Rp35.200,- namun gengsiku menghendaki memberikan Rp40.000,- tanpa kembalian.
25 July 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment