25 July 2007

Pimnas Lampung

STT Telkom sebuah perguruan tinggi swasta yang menjadi terkenal sebagai penggagas tuan rumah Pimnas dari PTS. Sebelumnya tidak pernah PTS menjadi tuan rumah PIMNAS. Alhamdulillah, setelah STT Telkom menjadi tuan rumah PIMNAS, maka sejak itu tuan rumah PIMNAS ditentukan secara bergantian. Tahun ini diselenggarakan di Kampus Universitas Lampung (UNILA), sebuah PTN, maka tahun depan akan dilaksanakan di PTS.

Keberangkatan ke Lampung dalam rangka mendampingi kelompok mahasiswa yang lolos dalam kegiatan PKM, memang dimulai dengan kesedihan demi kesedihan, ketidaksetujuan demi kedongkolan.

Awal keputusan Dikti untuk menentukan kelompok yang lolos ke tingkat PIMNAS sudah mengalami ketidakenakkan bagi kontingen STT Telkom, bayangkan ketika ada monitoring dan evaluasi dari Juri Dikti, dinyatakan ada 6 kelompok yang layak untuk mengajukan Paten, ternyata dari 11 kelompok hanya 2 kelompok yang lolos ke PIMNAS di Lampung, ditambah satu untuk PKMI.

Ditambah lagi dengan masalah yang diungkapkan dalam tulisan sebelumnya yang berjudul: Ketaatan pada Aturan.

Perjalanan yang dinyatakan akan berangkat Selasa jam 04 subuh ternyata berangkast Selasa jam 5.45.

Perjalanan dari Bandung sampai dengan Merak lancar-lancar saja, bahkan macet yang biasa terjadi sebelum gerbang Pondok Gede Timur, tidak terjadi, ada sedikit macet hanya begitu masuk gerbang tol Kota.

Dari Merak naik ferry, saya pikir ferry cukup bergoncangan, ternyata tidak terjadi rasanya tidak ada gelombang. Lancar... dan nyaman...

Begitu mulai dari pelabuhan Bakauheni, saya pikir Lampung datar-datar saja yang dekat dengan pantai, ternyata begitu keluar dari pelabuhan langsung disambut oleh tanjakan yang terpaksa dijalani dengan pelan, akibat di depan ada truk yang mengangkut barang yan berat.

Jauh juga jarak antara pelabuhan Bakauheni dan Kampus Unila. Apalagi dengan diperlambat oleh truk-truk besar yang berjalan lambat.

Hotel yang cukup manis, bagiku. Tempat menginap yang dipilih oleh kawan-kawan dari Bagian Kemahasiswaan. Berada di tengah kota. Tanda tengah kota bisa dilihat dari beradanya hotel tersebut di dekat pasar kota. Kecil kapasitasnya, tetapi manis bentuknya.

Begitu sampai kamar, langsung mandi dan minta diinjak-injak oleh anakku, langsung tertidur pulas. Bangun gara-gara telpon berdering.

Makan malam ini menjadi masalah tersendiri bagiku, operasi gigi bungsu belum sembuh benar, dan saat itu aku makan dengan rendang yang cukup keras.

Malamnya aku begadang untuk menyelesaikan proposal Jambore IT yang sudah dijanjikan saat penandatanganan kontrak PKM antara STT Telkom dan Dikti. Keinginan untuk memberi warna tak kesampaian akibat printernya hanya laserjet yang hitam-putih. Sedangkan keinginan untuk membuat logo terpaksa dihentikan karena waktu yang sudah amat mepet. Proposal ini memang ingin dimiliki oleh Dikti cq Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, dan pertama kali diadakan di STT Telkom dan disambungkan dengan hari kelahiran STT Telkom. Ada sekian banyak kegiatan dalam proposal ini, ada lomba yang harus dibuatkan terlebih dahulu analisis dan desainnya, hingga lomba yang dapat dilakukan langsung secara mendadak di tempat, namun ada juga yang berbentuk pelatihan, seminar dan workshop.

Penyelesaian proposal berhasil disampaikan kepada Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat saat Sarasehan Pembantu Rektor/ Ketua/ Direktur Bidang Kemahasiswaan. Dan diterima baik dan terbuka, mengingat PIMNAS load-nya sudah begitu banyak. Sehingga pemecahan PIMNAS boleh jadi menjadi salah satu solusi.

Balik tak mampu saya menemani mahasiswa, sakit gigi yang cukup berat, menyebabkan kami harus balik duluan.

Mau naik pesawat harganya antara 280ribu sampai dengan 490 ribu saya sudah siap dana, ternyata tiket habis. Alternatif lain, naik bis Patas dengan biaya Rp180ribu, namun dari yang jaga tiket aku nggak begitu percaya. Sehingga kau pilih: naik bis dari terminal Rajabasa ke Bakauheni Rp20ribu, naik ferry Rp10ribu ditambah kelas 2 sebesar Rp4ribu, naik bis Arimbi ke Leuwi Panjang sebesar Rp45ribu, kemudian sampai di Leuwi Panjang sudah mencanangkan untuk naik biskota sampai Cicaheum sebesar Rp2,5ribu, naik angkot ke Cijambe Rp2,5ribu, dan Ojek sebesar Rp2ribu. Namun istriku menelpon: "Janganlah, Pak, capek, naik taksi saja". Akhirnya aku naik taksi dengan argo sebesar Rp35.200,- namun gengsiku menghendaki memberikan Rp40.000,- tanpa kembalian.

24 July 2007

Ketaatan pada Aturan

Memang, aturan yang bersifat teknis bukanlah hasil langsung dari Firman Allah. Misalkan biaya Perjalanan Dinas sebesar Rp 150.000,- per hari jelas bukan hasil langsung dari Firman Allah, melainkan turunan yang ke berapa dari Firman Allah, dengan catatan jika aturan ini memang didasarkan dari aturan Allah.

Di Indonesia yang aku kenang dari seorang rekan yang saat itu sedang bermain di Perguruan Tinggi tempat aku menimba ilmu, muncul anekdot: "Aturan dibuat untuk dilanggar". Menyedihkan bagiku jika aturan dibuat dengan sengaja untuk dilanggar. Mestinya aturan dibuat untuk ditaati sehingga teraturlah kondisi suatu tempat yang telah menetapkan aturan tersebut.

Biasanya yang bisa melakukan dan menjalankan aturan yang utama adalah para pimpinan, bukan hanya sekedar untuk bawahan. Ketika aturan sudah ditetapkan bukanlah untuk kembali diubah, kecuali memang untuk forum yang memang menghendakinya. Artinya memang agenda yang dibawa adalah untuk mengubah aturan.

Dalam hal pelaksanaan tentunya aturan digunakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tidak boleh sebuah aturan diubah saat pelaksanaan, walaupun karena 'rasanya' tidak logis. Dalam hal pelaksana tidak mungkin kita mempertanyakan kok aturannya begini sih... bisakah diubah? Nggak bisa hal ini dilakukan. Jika mau dilakukan pengubahan aturan ya... saat membuat perubahan aturan...

Saat minggu yang lalu (17Juli sampai dengan 22 Juli 2007) ada dua aturan yang diubah ditengah jalan. Yang pertama aturan yang telah ditetapkan oleh Yayasan Pendidikan Telkom, yang dianalisis oleh seorang Pimpinan dianggap aturan tersebut tidak logis, sehingga harus dilanggar. Marah aku melihat hal ini, nyaris aku pundung tidak mau berangkat ke Lampung. Namun mengingat aku berangkat bukan hanya membawa nama diri pribadi, namun juga aku membawa nama STT Telkom, dan setelah ditelpon oleh Boss yang mengancam akan dipecat, akhirnya aku merelakan diri berangkat, walaupun dongkol hati belum terasa sirna.

Memang, aku memikirkan efek, jika aku tidak hadir sudah pasti proposal Jambore IT tidak akan sampai ke tangan Direktur Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, yang berakibat nama STT Telkom dipandang berbohong, karena tak juga mengumpulkan proposal yang sudah dijanjikan sebelumnya, ketika Penandatanganan Kontrak PKM (Program Kreatifitas Mahasiswa). Nyaris aku melakukan hal itu: Aku tidak mati, kalau STT Telkom mati.

Ada juga peran istri yang membuat aku luluh juga untuk berangkat. Padahal fisikku belumlah sehat, operasi gigi bungsu yang telah dilaksanakan pada hari Sabtunya (sebelum berangkat) ternyata tak juga baik kondisinya. Jadilah di Lampung tidak bisa konsentrasi terhadap kegiatan PIMNAS.

Kejadian yang kedua adalah Perkataan yang dikeluarkan oleh anggota Dewan Juri yang terhormat. Mestinya juri sadar bahwa Panduan PKM yang sudah digariskan dan sudah ditetapkan menjadi acuan yang utama, meskipun tidak terasa logis. Kelompok Susu Sari Biji Munggur, terkena masalah. Juri dengan gagah berani mengatakan tak selayaknya mahasiswa yang mengambil jurusan Teknik Telekomunikasi membuat PKMK (Kewirausahaan) mengurusi Susu, sehingga keluar kata-kata yang menurut saya tak ilmiah dan tak layak dikeluarkan oleh seorang juri terhormat di kancah Ilmiah PIMNAS. Mestinya juri membaca panduan dengan baik. Di Panduan PKM memang mahasiswa yang mengambil PKM Kewirausahaan tidak harus dari latar belakang ilmu yang dipelajarinya. Tetapi juri ngotot bahwa PKMK pun harus berdasarkan latar belakang yang dipelajarinya.

Logisnya begini Pak Juri (yang dari Gajah Duduk) manakah mungkin membuat PKMK BTS Terapung dengan dana hanya Rp6juta?

Semoga Indonesia semakin baik, dalam makna aturan yang telah ditetapkan jangan diubah lagi, cukup dilaksanakan saja, walaupun logika kita merasa tidak sesuai! Jika mau diubah, ubahlah di forum perubahan aturan! Jangan dipelaksanaan kegiatan!

11 July 2007

Serbuan Negeri Jiran

Sungguh membuat aku kelimpungan yang menangani Kerjasama dan Layanan Industri. Dalam beberapa hari ini, ternyata beberapa perusahaan maupun lembag gencar mendatangi STT Telkom untuk melakukan kerjasama. Ada lembaga pendidikan, ada perusahaan manufaktur, ada pula lembaga sertifikasi, ada pula lembaga kursus yang ingin menjalin hubungan dengan STT Telkom.

Memang sih STT Telkom mempunyai posisi tawar yang agak baik saat ini, yaitu lembaga pendidikan tinggi yang spesifikasi bermain dalam fokus yang baik, yaitu: IT atau ICT. Tak kurang, sudah tiga lembaga dari Malaysia yang ingin menjalin kerjasama tersebut. Satu lembaga yang bermain di pelatihan, satu lagi perusahaan manufaktur yang bermain di optik serta satu lagi yang bermain dengan Pendidikan Tinggi.

Lembaga pelatihan akan mencoba melakukan kerjasama dalam bidang penyediaan dan penyaluran tenaga kerja di Malaysia dalam bidang kerja IT. Sedangkan perusahaan manufaktur mempersiapkan laboratorium dan peralatan yang lain dengan bidang kerja optik. Sedangkan dengan lembaga pendidikan tinggi dalam bidang kerjasama pertukaran mahasiswa, dosen dan staf.

Semoga kerjasama ini dapat mempermudah kita dalam mengelola kemampuan IT di Indonesia, dan juga memajukan segala hal yang berbau IT di Indonesia.

Memang ada wanti-wanti dari temen yang pernah bergaul dengan temen-temen dari negeri jira, yaitu: hati-hati. Menurut saya sih... hati-hati bukan berarti tidak melakukannya, namun membaca dengan detil dan mengelaborasi setiap ayat perjanjian yang ada. Ayoh... majulah STT Telkom

09 July 2007

Sertifikasi Kompetensi

Ijazah sebagai tanda lulusnya seseorang dari bangku pendidikan, saat ini dipandang sudah tidak layak lagi, maka bermunculanlah fenomena sertifikasi. Program sertifikasi
juga dalam bentuk mengeluarkan ijazah yang sesuai dengan ujian yang dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi.

Rasanya begitu banyaknya lembaga pendidikan yang tak begitu baik perilakunya menyebabkan kegagalan produk-produk pendidikan. Kegagalan atau ketakmampuan yang terselubung inilah yang memicu bermunculannya lembaga sertifikasi. Dan yang membuat lebih membingungkan lagi, siapa yang akan melegalkan lembaga sertifikasi? Ada yang menyebut ISO, dst. Kalau mensertifikasi ISO siapa? Masyarakat? Kalau masyarakat yang mensertifikasi siapa? Waduh, nggak selesai-selesai ternyata.

Inilah bukti masyarakat yang dikembangkan dengan asumsi 'pada dasarnya manusia tidak bisa dipercaya' atau kata yang lebih kasar 'pada dasarnya manusia itu tukang tipu'. Mbulet susah ditebak, kemana arah langkah yang akan ditempuh.

Memang dibutuhkan yang namanya lembaga yang dapat dipercaya, tetapi manakah ada lembaga yang saat ini dapat dipercaya? Padahal lembaga-lembaga sertifikasi juga
merupakan lembaga yang baru dibentuk, bagaimana lembaga yang seumur jagung dapat lebih dipercaya dibanding lembaga pendidikan yang sudah lama muncul?

Mereka ingin lulusan Perguruan Tinggi mempunyai bidang kompetensi yang bersifat teknis semata, paahal hidup bukan hanya sekedar urusan teknis. Bagaimana menemukan ide baru dari yang sebelumnya tidak ada. Apakah mungkin hal yang demikian diujikan? Ah, rasanya nggak mungkin hal ini dilakukan. Hal ini juga termasuk skenario negara adidaya sehingga yang miskin, yang bisa dikendalikan mereka suruh kita mengurusi yang detil yang teknis semata, sedangkan yang merupakan fondamen yang susah dipelajari, tetap bisa milik mereka semata saja.