Rasanya saya sangat ingat ketika tahun 2000 sedang shaum ramadhan saya sakit di kaki yang menyebabkan saya sulit untuk berjalan kaki, sehingga untuk ke dokter pun harus minta bantuan disopirin sama temen yang sedang off dari kegiatan. Kaki yang sakit di telapakan, dan rasanya luar biasa cekot-cekot. Jangankan dipakai untuk berjalan kaki, kena sandal japit pun sudah terasa sakit, walaupun belum ditempelkan ke lantai.
Telah berulang kali rasa sakit yang demikian terjadi, dan biasanya segera diobati dengan penurun asam urat. Pernah kejadian ketika sedang sakit yang di rumah tinggal pembantu dan anakku yang paling kecil. Pembantu nggak mungkin saya panggil untuk menemani, karena dia perempuan, dan saya memang sungkan untuk berkomunikasi dengan perempuan, kecuali kepada istri dan anak-anakku. Saat itulah rasa sakit yang luar biasa timbul, rasa sakit yang menjalar sampai air mata keluar dengan sendirinya tak mampu ditahan. Anakku yang di kamar tak sanggup melihat bapaknya menahan sakit yang demikian ini, dia keluar kamar. Suara bapaknya sudah tidak jelas antara menahan tangis ataukah menahan menangis. Itu kejadian yang paling berkesan dengan sakit asam urat ini.
Kebiasaan menganggap bahwa setiap kejadian sakit adalah kambuhnya asam urat membuat, selalu begitulah adanya. Selalu diberi obat asam urat, kejadian terakhir tanggal 8 Oktober 2007 demikian juga adanya. Sakit lagi, dan obat pun minta ke dokter melalui istri, tanpa kehadiranku di hadapan dokter tersebut. Ternyata nyaris tiga hari rasa sakit masih tak mampu diatasi. Kecurigaan memang ada, aku lihat bengkak kaki berbeda dari biasanya, bengkak ini melebar dan terasa lunak, seperti berisi air.
Alhamdulillah, bangun subuh menjelang sholat Ied rasa sakit terasa menurun, ringan, ampang, sehingga aku bisa mengajak istriku untuk sholat ied. Usai sholat ied ternyata mulai terasa sakit kembali. Demikianlah adanya sakit, agak sehat, dan sehingga bisa masuk kantor pada tanggal 22 Oktober 2007. Selesai mengajar rekan kantor mewanti-wanti, jangan-jangan bukan asam urat. Kekuatiran yang lama terpendam dan masukan beberapa rekan yang boleh jadi bukan asam urat, namun ginjal, kolesterol, dll meliar-liar di kepalaku kembali. Sehingga Selasa 23/10/2007 ke klinik Kimia Farma, di klinik inilah saya ngotot untuk minta rujukan ke lab, bukan untuk diobati. Kendala aturan untuk melihat kolesterol dan juga fungsi ginjal, harus puasa minimal 10 jam, membuat pengambilan sample lab tidak bisa dilaksanakan hari itu juga. Hari Rabu pagi akhirnya terjadilah pengambilan sample darah dan malam harinya keluar hasil membuat kami (saya dan istri), ternyata asam urat jauh lebih sehat dibanding batas atas sehat. Dan yang jadi momok itu telah lepas, yang dianggap bukan ternyata jadi momok, yaitu kolesterol yang demikian tinggi telah 50% lebih tinggi dibanding data yang disebut sehat. Lihatlah tabel di bawah ini pengambilan sample darah pada bulan Oktober 2007, bahkan trigliserida demikian tingginya nyaris 2 kali lipat dari kondisi normal.
24/10/07 | 23/12/06 | |
Asam Urat (3,4-7.0) | 5,2 | 7,2 |
Kolesterol Total (<200)> | 311 | 257 |
Kolesterol HDL (>35) | 47 | 56 |
Kolesterol LDL (<130) | 207 | 162 |
Trigliserida (<150) | 285 | 197 |
Seperti biasa berbagai saran pun kemudian mengalir, dari dokter harus lebih sering olah raga, jangan makan makanan yang berlemak, dari teman sekantor kurangi karbohidrat, dari temen sekantor yang lain banyak minum. Yang motivasi utamanya adalah kalau bisa jangan sakit atau jangan sampai mati.
Padahal takdir sakit dan mati itu sudah ada. Yang ada mestinya adalah motivasi bagaimana dengan kondisi yang demikian ini ibadah kita semakin meningkat, termasuk ibadah berobat dan ibadah menjaga kondisi fisik yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Mestinya hal ini yang lebih muncul dalam segenap saran dan kesempatan.
Bukankah sudah ada contoh yang sangat fenomenal, dalam kondisi paru-paru tinggal satu yang berfungsi normal, maka selain mengupayakan pengobatan, Jenderal Sudirman masih ikut serta memimpin perang gerilya? Bukankah ini contoh yang mesti diteladani dan diikuti. Bukan malah mengurangi/ menambah aktifitas karena kuatir tambah sakit dan kuatir nanti mati? Justru karena takut pada kematian yang demikian dekat, mestinya semakin memperbanyak amal sholeh? Motivasi-motivasi yang kurang jelas arahnya semakin dihindari, sehingga memunculkan motivasi yang benar-benar benar, bukan motivasi yang mengandung keraguan, sehingga mampu mencapai kondisi kejiwaan sebagai nafsun mutmainnah?
Inilah mestinya pertanyaan yang lebih sering timbul, takutlah mati karena ingin meningkatkan kondisi diri, memperbanyak amal sholeh, selalu mawas diri, selalu mengevaluasi diri dengan kriteria evaluasi diri yang jelas dan nyata, bukan mengevaluasi diri dengan kriteria yang tak jelas dan kabur maknanya. Bangunlah wahai fisik-ku, segerakan jiwa membangun motivasi yang lurus dan benar, gerakkan fisik karena menyongsong kematian yang memang demikian dekat. Ayo! Bergabunglah bersama-sama orang yang sudah jelas ke arah mana tujuan hendak diraih...
Ya, Allah, pandaikanlah kami. Sehatkanlah kami, karena dengan sehat kami lebih banyak lagi amal ibadah yang mampu kami tempuh. Ya, Allah, ampunilah dosa-dosa kami. Amiin