Kabupaten Pati mempunyai karakter yang berbeda dari daerah pesisir yang lain dan sekaligus sebagai daerah transit menghubungkan Jakarta-Surabaya. Tegal yang berhasil semarak dengan Mall dan Super Marketnya, dan keluar watak kemodernannya lebih dahulu. Rembang keluar dengan wisata air lautnya dengan Taman Kartini, dan pendudukanya tetap menghuni dengan baik.
Pati mempunyai karakter sebagai kota Pensiunan, anak-anak mudanya keluar, mengembara. Nyaris Pati ditinggalkan oleh anak-anak mudanya, dapatlah dikatakan hampir 80% anak
mudanya mengembara mencari pakan, sandang dan papan di tempat lain. Namun kerinduan membangun karakter tempat kelahiran tak pernah lekang pula dari benak para alumni
yang pernah tinggal di Pati. Dan inilah yang menjadi daya tarik Kabupaten Pati. Kekunoan Pati akan membuat para alumni akan kembali ke kampungnya.
H+4 kami hadir di alun-alun Pati untuk menyerap rasa dan kepercayaan tentang kehidupan Pati. Dan alhamdulillah, terasa betapa hiruk pikuk alun-alun yang disulap dengan berbagai jongko penjual berbagai pernak-pernik khas pedagang kaki lima dapat dirasakan. Ada yang menjual Soto Kemiri, Nasi Gandul, Martabak Telur, Komedi Putar, Sepatu Sandal, Arum Manis, Bakso, tak ketinggalan pula makanan khas daerah lain Empek-Empek yang telah dimodifikasi ala Pati yang mengandung bala-bala (istilah Bandungnya), Batagor, Mainan China, Mie Ayam, Es Buah, dll.
Ada foto-foto yang diambil dengan menggunakan Camera HP merk HiTech dengan kemampuan 2MegaPixel.
Pati dengan slogannya Mina Tani, memang belum menunjukkan karakter slogan ini, walaupun mungkin jika ada data yang sajikan oleh Pemda, akan membuat saya terperangah, namun
itu belum terlihat. Mina yang berarti ikan dan produk ikan, dan tani yang berarti pertanian dan produk pertanian, tak begitu muncul sebagai karakter. Memang dari sisi tanaman kacang tanah, kita telah mengenal produk ini, melalui merk Kacang Garuda dan Kacang Dua Kelinci, yang telah
mengindonesia penyebarannya.
Keramaian Kota Pensiunan tentunya akan muncul ketika para alumni tempat tinggal kembali ke kampung halamannya. Berbagai plat nomor kendaraan roda empat maupun roda dua
muncul di alun-alun Pati ada pelat nomor B, D, DK, H, BH, L, AD, S, BE, dll yang menunjukkan orang-orang Pati telah balik dari perantauan. Ajang kumpul di alun-alun menjadi sarana silaturahim yang lain, selain acara silaturahim yang formal, kunjungan rumah ke rumah, ataupun acara resmi yang diselenggarakan oleh perkumpulan. Saya pun ketemu orang tetangga di Bandung di tempat ini.
Dengan kembalinya orang-orang di perantauan mempunyai dampak yang positif bagi tumbuhnya ekonomi daerah. Otonomi yang telah diundang-undangkan menjadi bagian yang menarik dari tumbuhnya daerah. Jalan-jalan di kampung sudah berasal, meskipun dengan lebar yang kurang memadai, hanya selebar satu mobil minibus dan dua sepeda motor berjejer.
Harus dan memang harus dipahami dan dimengerti bahwa pembangunan yang lebih menonjolkan pusat membuat daerah jauh tertinggal dengan pusat, saat awal saya ada di Bandung mendapatkan data yang cukup mencengangkan 80% dana se Indonesia hanya beredar di Jakarta, itupun 10% lagi beredar di kota-kota besar yang lain, seperti Surabaya dan Medan,
sisanya yang hampir 90% luas wilayah Indonesia hanya kebagian 10%. Betapa timpangnya kondisi ekonomi Indonesia saat itu, sehingga wajar toh orang-orang daerah yang punya
semangat hidup yang lebih besar mempunyai keinginan yang kuat untuk hadir di kota-kota besar, bahkan sampai saat ini, ketika Gubernur DKI dengan keras memerangi para pendatang dengan skill yang kurang mencukupi, tetap saja mengalir urbanisasi. Bisa kita bayangkan dengan berdiri di perempatan di Jakarta uang 50ribu Rupiah sehari mudah diraih, sedangkan di kampung menjadi buruh tani mendapatkan 50ribu Rupiah sehari hampir tidak masuk di akal.
Semangat kaum urban memang berbeda, jiwa ingin maju, jiwa ingin membuka peluang, dst tumbuh dengan kuat dan kokoh. Di daerah rantau boleh jadi mereka hidup tidak begitu baik,
tinggal di rumah tipe 21, namun begitu pulang kampung, rasanya mereka sanggup untuk membeli seluruh kota, inilah ibaratnya, harga-harga yang agak lebih murah, untuk bahan-bahan khas kampung.
Kondisi yang demikian ini mestinya semakin meyakinkan kita bahwa ada sesuatu yang salah dalam dasar berpijak negeri ini, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Bukan
menghilangkan kemiskinan targetnya, namun memeratakan kesempatan dan peluang berusaha yang lebih ditonjolkan. Kesalahan yang memang telah terjadi, namun apa yang mesti diperbuat?
22 October 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Woww...nice post, pak buat memprofilkan sosok Pati?!.
ReplyDeleteHmm..marvelous!! pengen ndang muLeh :)
oh ya pak..tempat-tempat historis Pati itu dimana aja Nggeh pak??
(dulu pernah denger ada sosok Pangeran Benowo/rekan pejuang P.Diponegoro, terus ikut masuk G pak...ada tempat penyebaran Isalm lewat Wali songo)
Jadi Gak cuma Pecinan, ama padepokan walisongo yang notabene lekat dengan unsur Klenek mawon to Pak? tapi ada sisi Lain yang cukup kharismatik dari bagian persejarahan Indonesia, maupun penyebaran islam di Jawa.
Benar, ada pesantenan, ada Bleber yang ceritanya dalam rangka melawan Belanda, dll
ReplyDeletesalam kenal pak piye kabare leh.........aku juga asli pati dan sekarang lagi nggak di patiii di tunggu informasi selanjutnya,,,kalau nggak keberatan dan ada waktu di tunggu kunjungan baliknya di blog saya yang ala kadarnya,,,,,http://seputarpati09.blogspot.com/
ReplyDelete