Sejarah memang telah mencatat kami sebagai pendiri Gamais ITB(Keluarga Mahasiswa Islam ITB), walau bagaimanapun itu telah menjadi ciri yang khas dan melekat pada kami. Memang hanya beberapa orang yang menjadi tim perumus, namun saat itu bertempat BLK Lembang (Balai Latihan Kerja) kami bersama-sama bermusyawarah, nyaris tanpa merasakan tidur untuk membahas: AD/ ART, kepengurusan awal, dan program kerja pertama.
Ketika sesi pembahasan nama dan singkatan, saya tidak setuju singkatan GAMAIS ITB, mengingati jika diplesetkan dengan memenggal kata IS, maka akuisisi ITB terhadap GAMA (Gajah Mada/ UGM) akan terjadi. Bukankah bunyinya menjadi GAMA IS ITB? yang berarti Gajah Mada adalah ITB? Namun kalah argumentasi yang menyebabkan tolakan saya tidak diterima forum, masalahnya alternatif singkatan nama belum ada.
Setelah bertahun-tahun meninggalkan aktifitas di kampus ITB, rasanya tidak ada lagi berita-berita tentang hal ini, atau mungkin lebih tepatnya tidak mengikuti perkembangan yang terjadi di kampus terhadap aktifitas Gamais ini. Memang kadangkala aku masih mendengar kegiatan Gamais, namun aku kurang konsen terhadapnya.
Suatu saat pemilihan Ketua IA ITB menggelinding dengan kencang, beberapa rekan menghubungi aku kembali untuk bermain-main dan bersilaturahmi kembali. Dan menghasilkan sebuah kenangan yang kembali mencuat: Dinginnya Lembang saat itu, semangatnya aku untuk mengubah diri dan dunia, teman-teman yang amat akrab dan bersahaja, dll.
Akhirnya para alumni Gamais mengundangku untuk hadir dalam pertemuan Konggres Alumni Gamais, yang saat itu karena kesibukan sebagai regulator dan administrator kemahasiswaan di STT Telkom, membuatku tidak sempat hadir. Dan menghasilkan sebuah nama yang kembali menurutku mudah diplesetkan pada arti yang jauh berbeda dari yang sebenarnya, yaitu: ALGAM, yang bisa diplesetkan sebagai Alumni GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Dan kembali pula aku tak mampu membendung nama-nama yang menurutku agak berbau berbahaya itu, saat kami berkumpul untuk bersilaturahmi menjelang bulan Ramadhan pada tanggal 9 September 2007 di kompleks Masjid Salman, yang oleh beberapa orang dianggap sebagai Pra Konggres menjelang Konggres yang kedua Alumni Gamais, sekaligus penetapan AD/ ART dan pengangkatan pengurus eksekutif ALGAM.
Sekarang kami rata-rata sudah berusia kepala 4 ke atas tentunya momen kumpul menjadi ajang saling bermaafan dan saling mengingatkan untuk terus berkiprah dan berbuat yang lebih baik, bagi diri, keluarga dan warga masyarakat Indonesia pada umumnya. Konggres yang diberi nama Silaturahmi Nasional Gamais akan diselenggarakan pada tanggal 3 Nopember 2007 di lingkungan ITB.
Kami ingin songsong Indonesia baru, Indonesia yang lebih manusiawi, Indonesia yang lebih berwibawa, Indonesia lebih memahami kondisi dan situasi para mustadh'affin. Semoga langkah kami dalam mewujudkan bendera Alumni Gamais mampu mewujudkan itu semua. Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.
20 September 2007
Bilangan Riil Nol
Dalam bilangan riil dikenal sifatnya dalam bentuk selang sistem bilangan
riil yang padat tanpa sela sedikit pun, tidak ada bolong dalam selang bilangan riil, pada setiap bilangan riil, maka di sebelahnya juga terdapat bilangan riil, baik di kiri maupun di kanan.
Dalam sistem bilangan riil ini, saling bersebelahan antara bilangan rasional dan irasional. Bilangan rasional memiliki bentuk a/b dimana b tidak boleh sama dengan nol, dan jika dituliskan dalam bentuk desimal, maka akhir ekspresi desimal itu berupa bilangan yang berulang. Sebagai contoh:
2,34513451 terus berulang dibagian akhir 3451, bilangan tersebut diwakili dalam bentuk a/b oleh 23449/9999 yang dapat diperoleh dari rangkaian operasi berikut:
x=2,34513451 (1)
jika dikalikan dengan 10000 didapat:
10000x=23451,34513451 (2)
kemudian dikurangkan persamaan (1) dengan persamaan (2), didapat:
- 9999x=-23449
sehingga:
x=23449/9999
Sedangkan pernyataan desimal berakhir itu juga dapat diwakili dengan berulang nol, karena bilangan nol tak bermakna pada akhir dari setiap bilangan setelah tanda koma, maka lebih sering tidak dituliskan.
Keistimewaan untuk tidak membolehkan membagi dengan bilangan nol membawa kepada konsistensi konsep-konsep bilangan riil. Jika pembagian dengan nol, maka akan meruntuhkan konsep-konsep yang lain. Ilustrasinya sebagai berikut:
0x3=0x1 (pernyataan ini benar, karena ruas kanan akan bernilai 0 dan ruas kiri juga bernilai 0).
Jika diperbolehkan membagi dengan 0 pada kedua ruas, tentunya 0/0=1 sebagaimana 5/5=1, maka diperoleh:
1x3=1x1
berarti
3=1
sebuah kemustahilan konsep yang kokoh dari kehidupan selama ini, karena satuan dan bilangan dasarnya sama antara ruas kiri dan ruas kanan, tentunya tidak akan ada perbedaan simbol.
Walaupun bagaimanapun sebagian besar ummat manusia mengakui kebenaran 3=1 (walaupun dengan kesamaan bilangan dasar dan satuan). Mungkin salah satunya disebabkan keinginan untuk berbeda dengan konsep dan aturan yang selama ini disepakati
1 adalah 1, tidak mungkin 1 adalah 3 atau yang lain, selain 1.
Jika tetap diyakini berlaku kondisi pada paragraf di atas, tentunya tidak ada lagi konsep konsistensi kebenaran dalam segala bidang, kacaulah semua hal yang ada selama ini.
Semoga hal ini dapat disadari oleh kita semua untuk kembali kepada keinginan kita bersama untuk memulai hidup dengan konsistensi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipegang dengan baik, sehingga jelas yang benar dan jelas pula yang salah.
riil yang padat tanpa sela sedikit pun, tidak ada bolong dalam selang bilangan riil, pada setiap bilangan riil, maka di sebelahnya juga terdapat bilangan riil, baik di kiri maupun di kanan.
Dalam sistem bilangan riil ini, saling bersebelahan antara bilangan rasional dan irasional. Bilangan rasional memiliki bentuk a/b dimana b tidak boleh sama dengan nol, dan jika dituliskan dalam bentuk desimal, maka akhir ekspresi desimal itu berupa bilangan yang berulang. Sebagai contoh:
2,34513451 terus berulang dibagian akhir 3451, bilangan tersebut diwakili dalam bentuk a/b oleh 23449/9999 yang dapat diperoleh dari rangkaian operasi berikut:
x=2,34513451 (1)
jika dikalikan dengan 10000 didapat:
10000x=23451,34513451 (2)
kemudian dikurangkan persamaan (1) dengan persamaan (2), didapat:
- 9999x=-23449
sehingga:
x=23449/9999
Sedangkan pernyataan desimal berakhir itu juga dapat diwakili dengan berulang nol, karena bilangan nol tak bermakna pada akhir dari setiap bilangan setelah tanda koma, maka lebih sering tidak dituliskan.
Keistimewaan untuk tidak membolehkan membagi dengan bilangan nol membawa kepada konsistensi konsep-konsep bilangan riil. Jika pembagian dengan nol, maka akan meruntuhkan konsep-konsep yang lain. Ilustrasinya sebagai berikut:
0x3=0x1 (pernyataan ini benar, karena ruas kanan akan bernilai 0 dan ruas kiri juga bernilai 0).
Jika diperbolehkan membagi dengan 0 pada kedua ruas, tentunya 0/0=1 sebagaimana 5/5=1, maka diperoleh:
1x3=1x1
berarti
3=1
sebuah kemustahilan konsep yang kokoh dari kehidupan selama ini, karena satuan dan bilangan dasarnya sama antara ruas kiri dan ruas kanan, tentunya tidak akan ada perbedaan simbol.
Walaupun bagaimanapun sebagian besar ummat manusia mengakui kebenaran 3=1 (walaupun dengan kesamaan bilangan dasar dan satuan). Mungkin salah satunya disebabkan keinginan untuk berbeda dengan konsep dan aturan yang selama ini disepakati
1 adalah 1, tidak mungkin 1 adalah 3 atau yang lain, selain 1.
Jika tetap diyakini berlaku kondisi pada paragraf di atas, tentunya tidak ada lagi konsep konsistensi kebenaran dalam segala bidang, kacaulah semua hal yang ada selama ini.
Semoga hal ini dapat disadari oleh kita semua untuk kembali kepada keinginan kita bersama untuk memulai hidup dengan konsistensi yang dapat dipertanggungjawabkan dan dipegang dengan baik, sehingga jelas yang benar dan jelas pula yang salah.
17 September 2007
Bekerjasama
Saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional APTIKOM (Asosiasi Perguruan Tinggi Informatika dan Komputer) di Bali pada akhir bulan Agustus dan awal bulan September 2007 (31, 1, dan 2), Bapak Iwan Dermawan, Direktur Akademik Ditjen Dikti Depdiknas, mengungkapkan:
Dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat Pendidikan se ASEAN, beliau duduk berdampingan dengan wakil dari Singapore. Beliau berbincang dengan wakil Singapore tersebut, Indonesia tidak akan kalah dengan Singapore dalam hal kemampuan akademik, jika bermain satu lawan satu. Memang jika bermain secara tim, maka Indonesia akan kalah. Inilah karakter orang Indonesia, sulit untuk bermain secara cantik dalam satu tim yang kokoh, padahal kemampuan individualnya amat tinggi. Bukankah kita bisa lihat beberapa orang yang mampu memenangkan pertandingan di tingkat dunia? Contohnya Olimpiade Fisika maupun Olimpiade Informatika.
Dan tanpa jawaban pun sebenarnya Singapore telah mengakuinya, informasi yang saya peroleh dari pengurus Tim Olimpiade Matematika, bahwa para pemenang Olimpiade Sains yang diselenggarakan setiap tahun, mereka langsung ditawari beasiswa oleh NUS, padahal mereka adalah generasi potensial yang siap untuk bermain pada beberapa tahun mendatang. Singapore hanya memberikan ikatan dinas sampai usia 30tahun.
Ini pula salah satu kelemahan, mengapa bangsa Indonesia tak mampu melepaskan diri dari kondisi krisis yang terus pula terjadi hingga saat ini: kemiskinan yang semakin banyak, pengangguran yang meningkat, korupsi yang terus membumi, ketidakpercayaan industri tingkat dunia untuk investasi di Indonesia, pelecahan orang Indonesia di negara lain.
Ada satu kisah lagi, kisah sedih bagaimana orang-orang pintar Indonesia (orang berpendidikan) berkolaborasi untuk membuat tandon air. Di sebuah perguruan tinggi yang sudah amat terkenal di seantero pelosok Indonesia, para ahli berkumpul untuk membangun penampungan air yang diletakkan di atas. Ternyata butuh waktu bertahun-tahun (nyaris 3tahun) agar tandon air itu diputuskan dibangun dengan desain yang mereka sepakati bersama. Dan setelah jadi bangunannya ternyata banyak orang yang kemudian mengatakan: lha wong hanya membangun tandon air yang begitu saja kok butuh waktu yang amat lama.
Inilah salah satu kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia, semakin tinggi kemampuan akademiknya, semakin tinggi pula kesombongannya, semakin sulit membuat titik temu ide diantara mereka.
Didalam pertemuan membahas kurikulum Perguruan Tinggi, sang peserta pertemuan yang saat itu, diminta menjadi pembicara di STT Telkom, mengungkapkan hal yang mirip juga, interupsi, penyamaan persepsi tentang istilah bisa menembus waktu nyaris 2 hari 2 malam, tidak selesai juga, selesainya bukan karena mencapai titik temu, tetapi karena batas waktu sewa ruangan di hotel, sudah habis.
Lantas, mana mungkin bangsa Indonesia mampu memjadi bangsa yang besar, jika para cerdik pandai di Indonesia, tak mampu mencari titik temu, titik-titik yang selalu dicari adalah perbedaan demi perbedaan, sehingga biaya jutaan rupiah habis, bukan dalam makna selesainya pembahasan, tetapi karena sudah habis dananya. Rasanya tidak akan mungkin bangsa Indonesia menyelesaikan masalah yang masih terus mengakangi jika kemampuan bekerjasama tidak bisa ditumbuhkan.
Makanya ada juga pendapat yang muncul sebelum masa Suharto menyatakan berhenti, yaitu dibutuhkan pemimpin yang diktator yang baik, yang punya visi dan misi yang bukan hanya fatamorgana, tetapi memang benar-benar nyata dan realistis.
Tentu, bukan ditunggu pemimpin yang demikian ini, namun diupayakan dan disongsong. Semoga Ramadhan ini, kita mampu membuka diri, sehingga hijab yang menutupi kebenaran Ilahi dapat terbuka dan memberikan makna hidup yang sebenarnya.
Dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat Pendidikan se ASEAN, beliau duduk berdampingan dengan wakil dari Singapore. Beliau berbincang dengan wakil Singapore tersebut, Indonesia tidak akan kalah dengan Singapore dalam hal kemampuan akademik, jika bermain satu lawan satu. Memang jika bermain secara tim, maka Indonesia akan kalah. Inilah karakter orang Indonesia, sulit untuk bermain secara cantik dalam satu tim yang kokoh, padahal kemampuan individualnya amat tinggi. Bukankah kita bisa lihat beberapa orang yang mampu memenangkan pertandingan di tingkat dunia? Contohnya Olimpiade Fisika maupun Olimpiade Informatika.
Dan tanpa jawaban pun sebenarnya Singapore telah mengakuinya, informasi yang saya peroleh dari pengurus Tim Olimpiade Matematika, bahwa para pemenang Olimpiade Sains yang diselenggarakan setiap tahun, mereka langsung ditawari beasiswa oleh NUS, padahal mereka adalah generasi potensial yang siap untuk bermain pada beberapa tahun mendatang. Singapore hanya memberikan ikatan dinas sampai usia 30tahun.
Ini pula salah satu kelemahan, mengapa bangsa Indonesia tak mampu melepaskan diri dari kondisi krisis yang terus pula terjadi hingga saat ini: kemiskinan yang semakin banyak, pengangguran yang meningkat, korupsi yang terus membumi, ketidakpercayaan industri tingkat dunia untuk investasi di Indonesia, pelecahan orang Indonesia di negara lain.
Ada satu kisah lagi, kisah sedih bagaimana orang-orang pintar Indonesia (orang berpendidikan) berkolaborasi untuk membuat tandon air. Di sebuah perguruan tinggi yang sudah amat terkenal di seantero pelosok Indonesia, para ahli berkumpul untuk membangun penampungan air yang diletakkan di atas. Ternyata butuh waktu bertahun-tahun (nyaris 3tahun) agar tandon air itu diputuskan dibangun dengan desain yang mereka sepakati bersama. Dan setelah jadi bangunannya ternyata banyak orang yang kemudian mengatakan: lha wong hanya membangun tandon air yang begitu saja kok butuh waktu yang amat lama.
Inilah salah satu kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia, semakin tinggi kemampuan akademiknya, semakin tinggi pula kesombongannya, semakin sulit membuat titik temu ide diantara mereka.
Didalam pertemuan membahas kurikulum Perguruan Tinggi, sang peserta pertemuan yang saat itu, diminta menjadi pembicara di STT Telkom, mengungkapkan hal yang mirip juga, interupsi, penyamaan persepsi tentang istilah bisa menembus waktu nyaris 2 hari 2 malam, tidak selesai juga, selesainya bukan karena mencapai titik temu, tetapi karena batas waktu sewa ruangan di hotel, sudah habis.
Lantas, mana mungkin bangsa Indonesia mampu memjadi bangsa yang besar, jika para cerdik pandai di Indonesia, tak mampu mencari titik temu, titik-titik yang selalu dicari adalah perbedaan demi perbedaan, sehingga biaya jutaan rupiah habis, bukan dalam makna selesainya pembahasan, tetapi karena sudah habis dananya. Rasanya tidak akan mungkin bangsa Indonesia menyelesaikan masalah yang masih terus mengakangi jika kemampuan bekerjasama tidak bisa ditumbuhkan.
Makanya ada juga pendapat yang muncul sebelum masa Suharto menyatakan berhenti, yaitu dibutuhkan pemimpin yang diktator yang baik, yang punya visi dan misi yang bukan hanya fatamorgana, tetapi memang benar-benar nyata dan realistis.
Tentu, bukan ditunggu pemimpin yang demikian ini, namun diupayakan dan disongsong. Semoga Ramadhan ini, kita mampu membuka diri, sehingga hijab yang menutupi kebenaran Ilahi dapat terbuka dan memberikan makna hidup yang sebenarnya.
06 September 2007
Pantai Kuta di Suatu Sore
Kadangkala memotret mengandung factor keberuntungan yang cukup besar. Seperti apa yang terjadi ketika melakukan pemotretan di pantai Kuta Bali tanggal 31 Agustus 2007 ini.
Tak sengaja menghasilkan sebuah efek yang amat menarik. Pantai yang basah karena air laut yang segera surut menghasilkan pantulan dari langit yang cukup cerah, namun masih mengandung beberapa kumpulan awan. Laksana memotret menggunakan kaca pada bagian bawahnya, namun dengan ketidakrataannya pantai membuat efek yang cukup menarik pula. Terlihat pula cerminnya seperti berair dalam, padahal jika diamati dengan lebih teliti, ada orang yang berjalan kaki di atas air. Karenanya inilah pantai yang basah, bukan air laut yang dalam.
Foto ini diambil sekitar jam 15 WIT.
Foto ini dihasilkan menggunakan kamera digital merk Sony DSC-H2. Selamat menikmati. Waduh, ternyata susah di-upload
Label:
foto,
pantai Kuta,
Sony
Subscribe to:
Posts (Atom)