02 February 2007

From Zero to Hero

Kompilasi: KOmunitas Mahasiswa PILihan ASal patI. Anggotanya ternyata memang benar-benar pilihan, hari ini Rabu 30 Januari 2007, sekembali dari SMA Negeri Juwana, kami menuju rumah salah satu anggota KOMPILASI yang bernama Heri Markoneng.

Berada di daerah Kecamatan Gembong nun di kaki Gunung Muria, dengan jarak dari Pati sekitar 10 km di jalan rayanya. Daerahnya di sekitar hutan kapuk randu, dan tegalan singkong.

Dari jalan raya nyaris menembus angka 5Km, melewati jalan aspal yang cukup sempit, hanya cukup untuk satu mobil, tidak bisa untuk papasan. Mobil dan sepeda motor masih bisa melaju bareng dengan perlahan.

Jalan yang berkelok naik turun, standard daerah pegunungan. Sesekali melewati jalan aspal yang telah terkelupas. Tanah merah terhampar, dengan aneka tanaman khas daerah tegalan, singkong, rambutan, kapuk randu, waru, tanaman pagar. Belok kanan, belok kiri, berkali-kali, naik tanjakan, turunan lembah, sungai, rimbun dan sejuk suasana udaranya. Beda rasanya dengan daerah perkotaan, yang panas, pengap.

Sempat terlontar: "Wah, ada listrik apa tidak di sini?" Ucapan ini rasanya wajar terlontar, karena jauh dari jalan raya.

Sesekali Heri Markoneng berhenti memberi petunjuk tiga mobil yang menyengaja datang ke rumahnya. "Lurus saja!" di lain waktu: "Belok kanan ya...", terus sepeda motornya beringsut menyalip para mobil. Berhenti kembali, dan memberi aba-aba: "Belok kiri!"

Jauh amat rumah Heri Markoneng ini dari jalan raya yang cukup sempit pula hanya bisa dilewat dua mobil jenis truk ukuran tanggung dengan minibus.

Akhirnya belok kanan dan masuk jalan yang hanya sedikit tertutup aspal. Mobil Patria VW pak camat (safari) yang masuk Indonesia saat Suharto menjadi Presiden dan menjelang Pemilu akan dilangsungkan (wah aku lupa tahun berapa hal itu terjadi), berderit belok kiri dan menanjak tajam, masuk ke tanah Embahnya si Heri Markoneng yang masih tanah basah, sehabis diguyur hujan.

Roda mobil bertambah tebal oleh tanah basah, menempel tanah-tanah itu.

Bapaknya Heri Markoneng keluar dan setelah bersalaman dengan beberapa mahasiswa masuk kembali. Saya bersalaman dengan Heri Markoneng, sambil dia menunjuk yang di rumah sebelah adalah kakeknya. Menuju rumah kakek Heri, aku. Bersalaman dengan kakeknya dan neneknya. Dan bergerak menuju rumah Heri Markoneng.

Bersalaman dan mencoba mengetahui nama Bapaknya Markoneng, Kusin? Aduh ... aku lupa. Betapa mudahnya aku melupakan nama seseorang padahal baru beberapa jama saja, saat aku menulis cerita ini. O... ataukah Pak Kusnin? Tak ada kepastian aku.

Pak Kusnin (sebut saja begitu) mengajar di SD sejak tahun 80-an, dan telah beberapa tahun ini memegang kelas 6. Pangkatnya sudah 4A, kata beliau sudah mentok, berdasarkan aturan kepangkatan yang beliau ketahui. Jika beliau berminat naik lagi, harus membuat tulisan, dan hal itu berat bagi beliau.

Akibat begitu mudahnya terjadi perubahan kurikulum, membuat beliau kesulitan mengikutinya. Yang baru lalu kurikulum KBK, Kurikulum Berbasis Kompetensi, namun sekarang sudah muncul kurikulum 2004, yang beliau sampai lupa nama kurikulum tersebut.

Inilah kelemahan pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional cq lagi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Sosialisasi kurikulum tidak begitu tersampaikan dengan baik. Apakah ada? Biasanya memang ada, namun untuk tingkat daerah diserahkan per daerah yang bersangkutan. Tanpa dimonitoring dengan baik. Tentunya sosialisasi di tingkat pusat akan baik, karena pesertanya mendapatkan honor kepergian ke pusat, dan karena sosialisasi, biasanya tidak ada post test untuk mengukur seberapa tingkat penyerapan peserta sosialisasi. Jika penyerapan berhasil dengan predikat mencukupi saja, maka sosialisasi berikutnya di tingkat daerah tidak akan mungkin mampu menyerap dalam predikat baik, pasti di bawah mencukupi. Mestinya Depdiknas memikirkan pula efek samping dari ketidakberhasilan sosialisasi ini. Sudah pasti jika sosialisasi tidak berhasil akan menyebabkan kurikulum yang disusun dengan dana teramat besar, akan menyebabkan kebingungan di tingkat teknis penyampaian materi pelajaran. Akibat selanjutnya murid yang menjadi korban.

Karenanya tingkat penyerapan kurikulum (sosialisasi) di pusat haruslah tercapai amat baik atau sangat baik. Jika belum berhasil harus diulang atau diganti pesertanya. Keberjenjangan sosialisasi memang harus dilakukan, tidak mungkin semua guru didatangkan pada satu tempat dalam satu waktu. Kebertahapan sosialisasi kurikulum, dimulai dari Pusat, daerah tingkat 1, daerah tingkat 2, kecamatan dan terakhir tingkat sekolah.

Dengan perubahan yang amat kentara akibat kurangnya jumlah guru sehingga berubah kembali guru kelas, bukan lagi guru bidang studi, jelas membawa efek yang cukup besar.

Dengan segala kekurangan yang demikian banyak toh mampu menghasilkan seorang alumni dari SD tersebut melaju dengan baik bisa diterima di jurusan Teknik Informatika STT Telkom, sebuah prestasi yang sungguh gemilang dari Heri Markoneng. Selamat kepada Heri Markoneng, betapa usahamu demikian menarik untuk ditiru dan diikuti. Tiada penghalang yang menghadang, yang tak mampu ditundukkan. Maju terus, jangan melemah hanya karena berasal dari kampung thuk thuk ... yang jauh dari kota. Justru bibit unggul inilah yang nantinya mesti membuat perubahan yang gemilang dari negeri Indonesia yang kaya namun miskin, mental dan spiritualnya...

4 comments:

  1. memang untuk jadi hery, eh salah hero itu butuh pengorbanan pak. tapi sekarang yg membuat sy semakin trenyuh adl ketika sy melihat realitas mahasiswa/pemuda masa kini. lha won yg katanya generasi '66 yg begitu heroiknya mampu menggulingkan soekarno sj skr bergelimang dlm krisis moral (baca:kkn), lha gimana nanti nasib generasi sy yg kondisinya spt sekarang ini.
    mereka pingin jd hero, lha kok ikhtiarnya hanya separo-separo.
    gimana nih bang markoneng?
    halah...

    @twyunianto.co.nr

    ReplyDelete
  2. pak ... markoneng NIM nya kepala 111 loh ... :D

    masih ada jugak to program pemerintah yang bernama "ganti menteri ganti kurikulum" ?

    ReplyDelete
  3. Utk TW:
    Menurutku sih jangan menyalahkan lingkungan yang ada, karena lingkungan yang ada memang sudah salah. Jadi? Nggak perlu menyalahkan lingkungan.

    Yang penting bagaimana diri kita bisa benar di hadapan Allah, karenanya carilah lingkungan yang benar, sehingga ketika berada di lingkungan yang salah, kita bisa mewarnai dengan kebenaran, bukan ikut hanyut.

    Emas tetaplah emas, walaupun di dalam kotoran (manusia).

    ReplyDelete
  4. Markoneng harus mau menjadi orang yang baik dan mewujudkan keinginan warga sekampungnya.

    ReplyDelete