06 February 2007

Banjir Jakarta

Sengaja judulnya dibalik, mungkin dari sisi hukum MD dan DM yang diikuti oleh bahasa Indonesia akan melakukan kesalahan. Namun dengan penyangatan ini, ada yang sempat kepikiran bahwa Jakartalah yang telah membanjiri koran-koran, TV-TV, radio-radio, e-mail e-mail, dst. Semua berbicara tentang Jakarta yang ketiban banjir demikian dahsyat: 39 orang meninggal, 1 hilang, dan 1 kritis (data tadi malam tanggal 06/02/2007 dari ANTV, dihitung juga yang terkena longsor).

Banjir kali ini memang amat luar biasa: lebih lebar, lebih luas, lebih deras, dan lebih dalam.

Rasanya paling cocok Ibukota Negara dipindah ke Pulau Lain atau Kota Lain.

Ketika aku tulis dan publish tulisan ini tanggal 6 Februari 2007, malam harinya aku kaget. Tulisan ini menjadi topik yang hangat pula dibicarakan di salah satu stasiun TV Nasional. Bahkan pada acara tersebut disebut-sebut Gubernur Jabar mencalonkan Bogor sebagai ibukota.

Sebuah kenyataan pula Jakarta memiliki area yang terletak di bawah permukaan laut dengan luasan yang amat luas. Daerah sekitar Thamrin pun setiap tahun mengalami penurunan permukaan tanah. Ada juga informasi bahwa tanah Jakarta hanya memiliki ketebalan sekitar 30 meter, setelah itu bolong. Andaikan kita membuat tiang pancang, dan membenamkannya dengan pukulan bertubi-tubi, seandainya kekuatannya begitu besar sehingga mencapai kedalaman 30 meter, maka hilanglah tiang pancang tersebut.

Kacaunya tata ruang-kota dengan pelaksanaannya, membuat Jakarta pun begitu sulit dipecahkan dari masalah kemacetan. Ruang hijau yang masih tergolong amat dan sangat sedikit membuat kesulitan nafas di setiap hari.

Padahal di Indonesia masih begitu banyak tempat kosong, lihatlah Kalimantan sehamparan tanah yang begitu luas, tak ada jeda oleh rumah dan jalan. Masih mudah ditata dari awal dibanding memperbaiki Jakarta yang sudah kacau balau. Mending Ibukota dipindah ke pulau ini.

Kalau mau melihat contoh, bisa dilihat pada negara adidaya, Amerika Serikat, mereka pun pernah melakukan hal yang demikian ini, memindah ibukota yang lebih sesuai dengan peruntukkan ibukota.

Ya! Pindah saja! Susah mengurai masalah Jakarta!

02 February 2007

From Zero to Hero

Kompilasi: KOmunitas Mahasiswa PILihan ASal patI. Anggotanya ternyata memang benar-benar pilihan, hari ini Rabu 30 Januari 2007, sekembali dari SMA Negeri Juwana, kami menuju rumah salah satu anggota KOMPILASI yang bernama Heri Markoneng.

Berada di daerah Kecamatan Gembong nun di kaki Gunung Muria, dengan jarak dari Pati sekitar 10 km di jalan rayanya. Daerahnya di sekitar hutan kapuk randu, dan tegalan singkong.

Dari jalan raya nyaris menembus angka 5Km, melewati jalan aspal yang cukup sempit, hanya cukup untuk satu mobil, tidak bisa untuk papasan. Mobil dan sepeda motor masih bisa melaju bareng dengan perlahan.

Jalan yang berkelok naik turun, standard daerah pegunungan. Sesekali melewati jalan aspal yang telah terkelupas. Tanah merah terhampar, dengan aneka tanaman khas daerah tegalan, singkong, rambutan, kapuk randu, waru, tanaman pagar. Belok kanan, belok kiri, berkali-kali, naik tanjakan, turunan lembah, sungai, rimbun dan sejuk suasana udaranya. Beda rasanya dengan daerah perkotaan, yang panas, pengap.

Sempat terlontar: "Wah, ada listrik apa tidak di sini?" Ucapan ini rasanya wajar terlontar, karena jauh dari jalan raya.

Sesekali Heri Markoneng berhenti memberi petunjuk tiga mobil yang menyengaja datang ke rumahnya. "Lurus saja!" di lain waktu: "Belok kanan ya...", terus sepeda motornya beringsut menyalip para mobil. Berhenti kembali, dan memberi aba-aba: "Belok kiri!"

Jauh amat rumah Heri Markoneng ini dari jalan raya yang cukup sempit pula hanya bisa dilewat dua mobil jenis truk ukuran tanggung dengan minibus.

Akhirnya belok kanan dan masuk jalan yang hanya sedikit tertutup aspal. Mobil Patria VW pak camat (safari) yang masuk Indonesia saat Suharto menjadi Presiden dan menjelang Pemilu akan dilangsungkan (wah aku lupa tahun berapa hal itu terjadi), berderit belok kiri dan menanjak tajam, masuk ke tanah Embahnya si Heri Markoneng yang masih tanah basah, sehabis diguyur hujan.

Roda mobil bertambah tebal oleh tanah basah, menempel tanah-tanah itu.

Bapaknya Heri Markoneng keluar dan setelah bersalaman dengan beberapa mahasiswa masuk kembali. Saya bersalaman dengan Heri Markoneng, sambil dia menunjuk yang di rumah sebelah adalah kakeknya. Menuju rumah kakek Heri, aku. Bersalaman dengan kakeknya dan neneknya. Dan bergerak menuju rumah Heri Markoneng.

Bersalaman dan mencoba mengetahui nama Bapaknya Markoneng, Kusin? Aduh ... aku lupa. Betapa mudahnya aku melupakan nama seseorang padahal baru beberapa jama saja, saat aku menulis cerita ini. O... ataukah Pak Kusnin? Tak ada kepastian aku.

Pak Kusnin (sebut saja begitu) mengajar di SD sejak tahun 80-an, dan telah beberapa tahun ini memegang kelas 6. Pangkatnya sudah 4A, kata beliau sudah mentok, berdasarkan aturan kepangkatan yang beliau ketahui. Jika beliau berminat naik lagi, harus membuat tulisan, dan hal itu berat bagi beliau.

Akibat begitu mudahnya terjadi perubahan kurikulum, membuat beliau kesulitan mengikutinya. Yang baru lalu kurikulum KBK, Kurikulum Berbasis Kompetensi, namun sekarang sudah muncul kurikulum 2004, yang beliau sampai lupa nama kurikulum tersebut.

Inilah kelemahan pemerintah cq Departemen Pendidikan Nasional cq lagi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Sosialisasi kurikulum tidak begitu tersampaikan dengan baik. Apakah ada? Biasanya memang ada, namun untuk tingkat daerah diserahkan per daerah yang bersangkutan. Tanpa dimonitoring dengan baik. Tentunya sosialisasi di tingkat pusat akan baik, karena pesertanya mendapatkan honor kepergian ke pusat, dan karena sosialisasi, biasanya tidak ada post test untuk mengukur seberapa tingkat penyerapan peserta sosialisasi. Jika penyerapan berhasil dengan predikat mencukupi saja, maka sosialisasi berikutnya di tingkat daerah tidak akan mungkin mampu menyerap dalam predikat baik, pasti di bawah mencukupi. Mestinya Depdiknas memikirkan pula efek samping dari ketidakberhasilan sosialisasi ini. Sudah pasti jika sosialisasi tidak berhasil akan menyebabkan kurikulum yang disusun dengan dana teramat besar, akan menyebabkan kebingungan di tingkat teknis penyampaian materi pelajaran. Akibat selanjutnya murid yang menjadi korban.

Karenanya tingkat penyerapan kurikulum (sosialisasi) di pusat haruslah tercapai amat baik atau sangat baik. Jika belum berhasil harus diulang atau diganti pesertanya. Keberjenjangan sosialisasi memang harus dilakukan, tidak mungkin semua guru didatangkan pada satu tempat dalam satu waktu. Kebertahapan sosialisasi kurikulum, dimulai dari Pusat, daerah tingkat 1, daerah tingkat 2, kecamatan dan terakhir tingkat sekolah.

Dengan perubahan yang amat kentara akibat kurangnya jumlah guru sehingga berubah kembali guru kelas, bukan lagi guru bidang studi, jelas membawa efek yang cukup besar.

Dengan segala kekurangan yang demikian banyak toh mampu menghasilkan seorang alumni dari SD tersebut melaju dengan baik bisa diterima di jurusan Teknik Informatika STT Telkom, sebuah prestasi yang sungguh gemilang dari Heri Markoneng. Selamat kepada Heri Markoneng, betapa usahamu demikian menarik untuk ditiru dan diikuti. Tiada penghalang yang menghadang, yang tak mampu ditundukkan. Maju terus, jangan melemah hanya karena berasal dari kampung thuk thuk ... yang jauh dari kota. Justru bibit unggul inilah yang nantinya mesti membuat perubahan yang gemilang dari negeri Indonesia yang kaya namun miskin, mental dan spiritualnya...