Tak terasa tahun baru telah lebih setengah bulan dilewati. Minggu-minggu ini begitu gencar media massa membahas masalah Pak Harto, orang sepuh yang sakit-sakitan karena usia yang memang sudah tergolong sepuh. Beliau dulu pernah 32 tahun memimpin negeri ini dengan segala macam haru birunya.
Ketika masa Sukarno, masyarakat menjerit karena harus mengalami berbagai tragedi yang memilukan, harga-harga melambung amat tinggi. Untuk mendapatkan beras pun harus antri pula, padahal itu pun untuk beli, bukan mendapatkan dengan gratis. Kondisi antri ini berlanjut sebentar saat Sukarno diganti dengan Suharto yang kata orang melalui kudeta tak berdarah, tetapi dengan paksaan, melalui sebuah surat yang terkenal dengan nama Super Semar. Saya mengami ikutan antri beras, yah... sekitar usia 2 tahunan, dan karena capek saya menangis.
Sekarang saya tidak mengalami antri, tetapi banyak orang yang harus antri untuk mendapatkan minyak tanah. Kadang saya antri pula untuk beli bensin, saya antri bukan apa-apa, bukan karena kekurangan pasokan bensin, tetapi karena satu Bank Nasional memberikan bonus beberapa liter sepanjang membayar dengan ATM. Beda suasana dan nuansanya.
Sebagai seorang pemimpin, Pak Harto memang terkenal piawai, beliau memang bukan orang sekolahan, namun kemampuan menangkap pengetahuan begitu tinggi, dan terus berusaha untuk belajar. Cara belajarnya pun tergolong unik: para menteri diundang kemudian disitulah proses pembelajaran beliau dilakukan, tanpa sengaja mentri-menteri itu kalah jago dengan Pak Harto. Inilah heroiknya Pak Harto mencari kemampuan dan mengelola negeri ini.
Saat ini, kondisinya berbeda, Pak Harto sudah nglokro, tergolek tiduran di atas kasur dorong di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), tak ada omongan yang keluar dari mulutnya, tak ada senyum yang dulu dibanggakan sebagai The Smiling General, tak ada gapaian tangan yang dulu sering dipakai untuk menyampaikan salam kepada khalayak ramai. Derita orang besar ini, Jenderal Bintang Lima, memang sekarang menghayutinya, lemah tak berdaya.
Kondisi menjelang ajal, mestilah mendorong kita untuk memberikan maaf atas segala kesalahan yang dulu pernah dilakukannya, jika tidak muncul maaf, boleh jadi beliau akan sengsara dengan segala kelemahan yang ada selama ini, ketika kondisi tubuh sudah demikian lemah, namun nyawa tak juga memisahkan diri dari raga, manalah enaknya kondisi yang demikian ini. Sebaikanya para anak-anaknya, para warganya, para pengagumnya, para musuhnya ataupun yang pernah mengalami penyiksaan atas dirinya, sadar diri, jangan sampai menyiksa
dan membuat semakin sulit beliau kembali ke haribaan Yang Maha Kuasa. Marilah saudara, marilah, lepaskanlah segala beban beliau, jangan diganduli, jangan mengibuli beliau, sudah saatnya beliau istirahat dari alam dunianya, biarkan beliau memasuki alam lain, yaitu akhirat, ikhlaskan, relakan, jangan ditahan-tahan yang membuat ketersiksaan yang amat berat bagi beliau. Selamat jalan, wahai Yang Selalu Senyum walaupun Kejam.
17 January 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)